Jeratan Hukum bagi Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan
Perundang-undangan menyatakan secara tegas pembakaran lahan dapat diancam pidana pernjara dan denda hingga Rp 10 miliar.
Memasuki musim kemarau, program pencegahan kebakaraan hutan dan lahan menjadi perhatian penting pemerintah saat ini. Hal ini untuk menghindari kembali terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) parah khususnya pada kasus 2019 dan 2015 yang menyebar pada berbagai wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga Papua. Kebakaran hutan tersebut menimbulkan dampak kerusakan besar bagi lingkungan hingga sosial.
Penyebab karhutla 2019 tersebut salah satunya dilakukan pihak korporasi. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Oktober 2019 telah merilis sejumlah pelaku atau dalang di balik karhutla. Sedikitnya, pelaku kebakaran hutan dan lahan ini terdiri dari 64 perusahaan baik luar negeri maupun lokal, puluhan tersangka dan jumlah kasus dari masing-masing daerah.
Dalam kondisi tersebut, penting untuk mengingat perundang-undangan yang menyatakan secara tegas mengenai pelanggaran pembukaan lahan dengan cara membakar. Ketentuan tersebut tercantum dalam berbagai regulasi seperti Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.
Dalam UU Kehutanan menyatakan pembakaran hutan merupakan pelanggaran hukum yang diancam dengan sanksi pidana dan denda. Pasal 78 Ayat 3 UU 41/1999 menerangkan pembakaran hutan dengan sengaja maka dikenakan pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Sedangkan pada Ayat 4 pasal tersebut menyatakan pelanggar karena kelalaiannya diancam pidana 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Selanjutnya, UU PPLH juga menyatakan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan secara tegas meruapakan pelanggaran. Larangan tersebut diatur dalam Pasal 69 ayat (2) huruf h UU PPLH yang menyatakan “setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Namun, pada ayat Pasal ayat 2 menjelaskan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing masing.
Kearifan lokal yang dimaksud yaitu pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Sehingga, pembukaan lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Sanksi bagi pelaku pembakaran lahan sesuai Pasal 108 UU PPLH diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun serta denda antara Rp 3-10 miliar.
UU Perkebunan juga mengatur tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar. Larangan tersebut tercantum pada pasal 56 ayat 1. Sementara, sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut terancam Pasal 108 UU Perkebunan yang menyatakan “setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar melakukan pemantapan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) secara permanen. Pasca karhutla 2015, berbagai langkah koreksi atau corrective action telah dilakukan, selain dalam bentuk berbagai kebijakan krusial, peningkatan operasional kerja tim satgas karhutla, juga telah dilakukan peringatan dini antisipasi ancaman karhutla.
“Selanjutnya tadi kami membahas peningkatan partisipasi Masyarakat Peduli Api (MPA) melalui pendekatan masyarakat berkesadaran hukum (Paralegal). Ini merupakan tahapan penting dari jalan panjang memantapkan upaya pencegahan Karhutla secara permanen, sesuai arahan Bapak Presiden,” ungkap Siti seperti dilansir Setkab, Sabtu (18/7).
Dia menjelaskan karhutla tahun 2015 telah memberi banyak pembelajaran bagi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, untuk melakukan berbagai corrective action pengendalian karhutla hingga ke tingkat tapak. Di tingkat operasional lapangan juga semakin dikuatkan kerja sama antar anggota satgas yang melibatkan Manggala Agni, Pemerintah Daerah, Polri, TNI, BNPB, MPA, Swasta, dan kelompok masyarakat lainnya.
Provinsi Riau disebut Siti, sudah memiliki sistem dashboard pemantau karhutla yang baik. Sehingga mampu berjalan bersama Manggala Agni, BPBD dan instansi terkait lainnya untuk melakukan sistem pengendalian Karhutla dalam kerja Satgas Karhutla Riau. “Dari perjalanan panjang karhutla 10-13 tahun, Riau punya kekhususan. Istilah saya ada fase kritis pertama sejak Maret- Mei. Maka fase kedua kita harus hati-hati mulai akhir Juni hingga akhir Oktober. Semua ini bisa dideteksi,” ungkap Siti.
Karena itu, pencegahan karhutla di Riau sudah dilakukan KLHK bersama BPPT dan para mitra sejak tanggal 13 sampai 30 Mei dengan teknik modifikasi cuaca, untuk rekayasa jumlah hari hujan guna membasahi gambut, mengisi embung dan kanal. Selanjutnya dalam waktu dekat akan dilakukan TMC oleh BNPB dan BPPT sebagai antisipasi fase kritis II karhutla yang diprediksi BMKG puncaknya terjadi pada bulan Agustus nanti.
Lebih Lanjut, Siti mengatakan bahwa pengendalian karhutla juga tidak terlepas dari tata kelola gambut, dan pertanian dengan sistem kearifan lokal. “Saya tadi juga minta pendalaman Kapolda, bagaimana kondisi Babinsa, Babinkamtibmas, bagaimana konflik yang terjadi di lapangan, seperti apa penyelesaian di tingkat lapangan, ini semua tadi kita bahas,” kata Siti.
Provinsi Riau dikatakannya mendapat perhatian khusus dari Presiden bahkan kunjungan kerja pertama dilakukan saat datang ke Meranti, pada tahun 2014. Ketika terjadi karhutla di 2015, berbagai persoalan di Riau memberikan contoh pembelajaran yang sangat penting bagi penyelesaian masalah karhutla di Indonesia. “Kami mendapatkan solusi dari perjalanan rumit karhutla di Riau. Kami banyak belajar di kejadian 2015, dan akan terus kita tingkatkan lebih baik lagi ke depan,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan perihal penegakan hukum, ditegaskannya bahwa hal tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2015 dengan terbentuknya Ditjen Penegakan Hukum. Sinergisitas dengan lembaga penegak hukum lainnya juga terus dilakukan. “Memang tidak gampang, karena harus meningkatkan pengetahuan, dan menyediakan ahlinya. Termasuk yang sudah inkrah pun tidak mudah. Namun yang penting penegakan hukum diterapkan baik administratif, pidana ataupun perdata. Tujuannya memaksa perusahaan mengikuti standar yang diterapkan,” katanya.
Sejak adanya penguatan sanksi hukum, maka perusahaan wajib memiliki secara lengkap sarana dan prasarana, ahli lingkungan, bahkan tenaga teknis untuk karhutla. Artinya, perusahaan berinvestasi cukup besar sehingga tidak semua sanksi harus dalam bentuk pencabutan izin. “Pemerintah itu posisi utamanya melakukan pembinaan masyarakat. Pemerintah tidak bisa main hajar, harus sesuai prosedur tentunya. Yang jelas perusahaan terlibat karhutla, pasti diberikan sanksi, baik administratif, pidana ataupun perdata,” tegas Siti.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jhonny Gerard Plate menyatakan, diseminasi informasi akan menjadi upaya penting dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di dalam negeri. Tujuannya untuk mengajak masyarakat di wilayah rawan menyadari pentingnya menjaga hutan dan lahannya dari kebakaran.
"Diseminasi informasi mengajak masyarakat aware, jangan membiarkan sampai terjadi kebakaran hutan dan lahan," ujarnya pada Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk ”Antisipasi Karhutla di Pusaran Pandemik” yang diselenggarakan di Ruang Serbaguna kantor Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (17/7).
Sumber : Hukum Online
Diskusi