Metode Penetapan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
Dalam perspektif UU 31/1999 dan perubahannya yaitu UU 20/2001, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Dari ketiga puluh jenis/bentuk tindak pidana korupsi tersebut, pada dasarnya dikelompokkan menjadi:
- kerugian negara;
- suap menyuap;
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan;
- perbuatan curang;
- benturan kepentingan dalam pengadaan;
Jenis korupsi yang berkenaan dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 UU 20/2001 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 sebagai berikut:
Pasal 2 UU 20/2001 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 | Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 |
| Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. |
Lebih lanjut, berdasarkan matrik pada Lampiran PERMA 1/2020 (hal. 8), adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam kategori paling berat dan memiliki kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi terdakwa tinggi, maka rentang pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah pidana penjara selama 16 sampai dengan 20 tahun dan pidana denda antara R800 juta sampai dengan Rp1 miliar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Apa itu Kerugian Keuangan Negara?
Pengertian keuangan negara dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara dan Pasal 1 angka 7 UU BPK menyatakan bahwa:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun, pengertian dari kerugian keuangan negara atau kerugian negara dapat disimak di dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK yang berbunyi:
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Cara Menentukan Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi
Menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana cara menentukan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, maka dapat kami sampaikan bahwa terdapat lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”).
Kewenangan BPK untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun lalai oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Sementara, dasar hukum kewenangan BPKP untuk menentukan kerugian negara untuk diatur dalam Pasal 3 huruf e Perpres 20/2023 yang pada pokoknya mengatur bahwa salah satu fungsi BPKP adalah melakukan audit penghitungan kerugian negara atau daerah.
Mahkamah Agung melalui Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 1 – 2) dalam rumusan keenam kamar pidana merumuskan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional. Sedangkan instansi lainnya seperti BPKP/inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, jakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Kemudian, wewenang KPK dalam membuktikan kerugian negara dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dimana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiridi luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya (hal. 53).
Berdasarkan penjelasan di atas, lembaga lain selain BPK misalnya BPKP, untuk dan atas nama BPK dapat melakukan audit investigasi untuk menentukkan besaran kerugian keuangan negara dan hasilnya dapat diterima atau digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan MA No. 2391 K/PID.SUS/2016, dimana MA menolak permohonan kasasi dengan pertimbangan bahwa lembaga lain selain BPK, misalnya BPKP, untuk dan atas nama BPK dapat melakukan audit investigasi untuk menentukkan besaran kerugian keuangan Negara dan hasilnya dapat diterima atau digunakan (hal. 22).
Acuan untuk Menentukan Adanya Kerugian Negara
Selanjutnya, kami berpendapat bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dilandaskan pada acuan atau faktor-faktor berikut ini:
- Pemeriksaan Bukti-Bukti
Hakim akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum untuk mendukung klaim bahwa terpidana telah melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Bukti-bukti ini bisa berupa dokumen keuangan, laporan audit, atau bukti lain yang menunjukkan adanya penggelapan, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi dalam penggunaan dana publik.
Menurut Theodorus M. Tuanakotta, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses penentuan kerugian negara yaitu:
- menentukan ada atau tidaknya kerugian negara;
- menghitung besarnya kerugian keuangan negara jika ada;
- menetapkan kerugian negara.
- Laporan Keuangan dan Audit
Laporan keuangan yang disusun oleh auditor, BPK, atau instansi berwenang dapat menjadi acuan utama dalam menentukan jumlah kerugian negara. Laporan ini mengidentifikasi secara detail aliran dana, pengeluaran yang tidak sah, atau kelebihan biaya yang terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh terpidana.
Hasil audit atau nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berasal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian negara menjadi alat bukti yang paling penting dalam kasus tindak pidana korupsi, dimana besar kecilnya kerugian negara akan menjadi salah satu faktor penentu terhadap beratnya tuntutan jaksa ataupun vonis hukum.
Adapun, sistem penetapan kerugian negara oleh BPK diatur lebih lanjut dalam dalam Peraturan BPK 1/2020.
- Perhitungan Ahli
Seringkali, hakim akan mengandalkan bantuan dari ahli forensik keuangan untuk melakukan perhitungan yang akurat terkait kerugian negara. Ahli ini akan mengevaluasi data keuangan, menganalisis transaksi, dan menghitung jumlah kerugian berdasarkan metodologi yang diakui dan relevan. BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Sumber : Hukum Online
Diskusi