Pasal 160 KUHP: Instrumen Hukum terhadap Tindak Penghasutan


Bunyi Pasal 160 KUHP

Tindakan menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 160 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, sebagai berikut:


Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidanamelakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Patut diperhatikan bahwa pidana denda dalam Pasal 160 KUHP tersebut tidak lagi Rp4500 melainkan Rp4.5 juta berdasarkan ketentuan Pasal 3 PERMA 2/2012.


Unsur Pasal 160 KUHP

Dari bunyi Pasal 160 KUHP di atas, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 136-137) menerangkan bahwa:

  1. “Menghasut” artinya mendorongmengajakmembangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.

Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, menurut R. Soesilo, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.


Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: “Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?”

  1. Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik.
  1. Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat “kita sama kita”(onder onsjes, vertrouwelijkitu tidak dapat dihukum.
  1. Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya:
  1. dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua perbuatan yang diancam dengan hukuman;
  2. melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan;
  3. jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan;
  4. jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang.

Sebagai informasi, dalam Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiel (hal. 73).


Dalam artikel Pasal Penghasutan Berubah Menjadi Delik Materil, dijelaskan bahwa sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut. Dengan diubahnya penghasutan menjadi delik materiel, tentu memiliki dampak yang berbeda. Rumusan delik materiel adalah seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.


Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jelas terlihat bahwa perbuatan penghasutan tidak dapat dipidana jika orang yang dihasut tersebut tidak melakukan perbuatan yang ada hubungannya dengan hasutan tersebut. Oleh karena itu, hubungan sebab akibat tersebut harus dapat dibuktikan sehingga orang yang menghasut dapat dipidana.


Bunyi Pasal 246 UU 1/2023

Selain diatur dalam KUHP lama, menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana juga diatur dalam Pasal 246 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,  yaitu tahun 2026, sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan:

  1. menghasut orang untuk melakukan Tindak Pidana; atau
  2. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan Kekerasan.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 246 UU 1/2023, yang dimaksud dengan "menghasut" adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Kemudian, menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mengetahui.


Contoh Kasus Penerapan Pasal 160 KUHP

Sebagai contoh dapat kita temukan dalam Putusan MA No. 426 K/Pid/2011. Terdakwa menghasut masyarakat untuk menghakimi korban dengan cara-cara sadis. Terdakwa memprovokasi warga (di depan umum) di desanya untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum yaitu menganiaya korban (hal. 3).


Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menghasut yang diatur dalam Pasal 160 KUHP. Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 4 tahun (hal. 31).



Sumber : Hukum Online

ORDER VIA CHAT

Produk : Pasal 160 KUHP: Instrumen Hukum terhadap Tindak Penghasutan

Harga :

https://www.indometro.org/2025/05/pasal-160-kuhp-instrumen-hukum-terhadap.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi