Revisi UU ITE dan KUHP Harus Mengacu pada Putusan MK soal Kebebasan Berekspresi


Pada Selasa (29/4) 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusannya terhadap dua perkara yaitu 105/PUU-XXII/2024 dan 115/PUU-XXII/2024. Pemohon dalam perkara 105 menguji beberapa frasa dalam Pasal 27A dan 28 ayat (2) UU 1 Tahun 2024 tentang ITE. Sementara itu, dalam perkara 115, pemohon menguji frasa dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP, 45 ayat (2) dan (7), serta Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE, serta memohonkan agar Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan hukum. Hakim MK mengabulkan sebagian permohonan dari para pemohon.


Kami menyambut baik pertimbangan MK terkait frasa dalam pasal yang dinyatakan diterima. Sebelumnya, melalui putusan nomor 78/PUU-XXI/2023 tentang berita bohong dalam UU 1 Tahun 1946, MK juga menyatakan pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak berlaku. Pasal ini menurut MK, telah membatasi serta melanggar hak atas kebebasan berekspresi karena setiap orang dengan mudahnya dipidana menggunakan pasal tersebut. Dalam hal ini, pasal berita bohong ditafsirkan terlalu luas. Ditambah lagi mekanisme menguji suatu berita bohong atau benar saat ini sudah mudah untuk diverifikasi oleh masyarakat sebab informasi sudah sangat mudah diperoleh.


Walau pasal berita bohong dalam UU 1 Tahun 1946 dinyatakan tidak berlaku, saat ini masih ada pasal serupa dalam UU ITE di Pasal 28 ayat (3) dan juga dalam KUHP 2023 yang akan berlaku pada 2026. Dalam Putusan 115, MK tidak menghapus Pasal 28 ayat (3) UU ITE melainkan mempertegas penafsiran terhadap frasa “kerusuhan”. Menurut MK, frasa tersebut harus dimaknai sebagai kondisi kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital. Lebih lanjut, menurut MK, penjelasan Pasal 28 ayat (3) telah memberikan pembatasan yang jelas. Dengan kata lain MK melihat adanya konteks yang berbeda ketika menyatakan pasal berita bohong dalam UU 1 Tahun 1946 tidak berlaku.


Masih berlakunya Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan pasal berita bohong dalam KUHP 2023 ke depannya, secara langsung memberikan mandat kepada penegak hukum untuk teliti dalam menafsirkan tindak pidana itu. Seperti yang kita baca dalam pertimbangan MK, salah satu dasar perbaikan penafsiran frasa dilakukan agar sesuai dengan prinsip HAM. Dalam konteks ini, penggunaan pasal berita bohong sudah seharusnya tidak digunakan untuk kasus-kasus yang erat kaitannya dengan ekspresi atau pendapat masyarakat.


Selanjutnya, untuk putusan perkara 105 terkait penghinaan dan ujaran kebencian, MK telah mempertegas keberlakuan dua pasal tersebut. Pasal 27A UU ITE memang tidak lagi berlaku saat KUHP 2023 berlaku pada 2026. Akan tetapi, dalam masa transisi ini, penegasan terhadap keberlakuannya memang harus dipertegas bahwa hanya untuk individu dan bukan untuk badan hukum, lembaga negara, atau sekelompok orang. Berdasarkan putusan MK itu, hal ini jadi lebih tegas dalam UU ITE.


Sedangkan untuk Pasal 28 ayat (2) UU ITE, MK membatasi keberlakuannya “hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”. Penafsiran ini memberikan konsekuensi pada perlunya melihat kesengajaan dan juga akibat dari perbuatan orang yang dianggap melakukan ujaran kebencian.


Meski sudah mempertegas maksud dari Pasal 28 ayat (3), MK tidak lebih jauh mempertegas tentang subjek yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Subjek dari ujaran kebencian tersebut harus berdasarkan identitas yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan Pasal 242 dan 243 KUHP 2023 dan juga dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE, ujaran tersebut selain disengaja, juga harus berdasarkan “ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik”. Penekanan MK dan juga subjek ini harus menjadi perhatian dari penegak hukum saat memeriksa tindak pidana ujaran kebencian.


Selain itu, kami juga melihat perlunya penyesuaian penafsiran dan penegasan dalam KUHP 2023 jika nantinya diberlakukan. Adanya putusan MK yang secara langsung berhubungan dengan KUHP tersebut, membawa konsekuensi pada perlunya perlindungan atas penikmatan HAM masyarakat khususnya hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.


Tentu saja, adanya penegasan MK dalam Pasal 27A bahwa penghinaan tidak termasuk pada lembaga negara secara langsung membuat kebutuhan untuk meninjau kembali pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, dan Lembaga Negara dalam KUHP 2023. MK menyatakan pasal penghinaan memberikan efek ketakutan pada masyarakat, maka hal ini juga akan terjadi dengan keberlakukan pasal penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, dan Lembaga Negara dalam KUHP 2023.


Jika merujuk pada KUHP yang saat ini berlaku serta putusan MK terhadap pasal penghinaan Presiden atau Wakil Presiden, serta pemerintah, telah tidak berlaku. Dengan demikian, pengaturan kembali tentang penyerangan kehormatan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, dan Lembaga Negara dalam KUHP 2023 harus ditinjau ulang untuk dihapus.


Untuk itu kami menyerukan:

  1. Pasca Putusan MK 78/PUU-XXI/2023 yang menghapus pasal berita bohong, maka Pasal 263 dan Pasal 264 dalam KUHP 2023 tentang berita bohong juga harus dihapuskan;
  2. Pasca Putusan MK 105/PUU-XXII/2024 yang memperketat unsur penghinaan, maka Pasal 27A UU ITE dan Pasal 433 KUHP 2023 harus juga diperketat, tidak untuk melindungi lembaga negara, pemerintah ataupun kelompok orang;
  3. Pasca Putusan MK 105/PUU-XXII/2024 yang memperketat unsur penghinaan berdasarkan prinsip HAM, karena pasal ini menimbulkan iklim ketakutan, maka Pasal 218-219 tentang Penyerangan Kehormatan Presiden atau Wakil Presiden dan Pasal 240-241 tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara harus ditinjau ulang untuk dihapuskan;
  4. Pasca Putusan MK 105/PUU-XXII/202 yang memperketat unsur ujaran kebencian secara elektronik harus merupakan ujaran yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang ditujukan untuk umum, maka pengetatan harus dilakukan dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 243 KUHP 2023.


Sumber : ICJR

ORDER VIA CHAT

Produk : Revisi UU ITE dan KUHP Harus Mengacu pada Putusan MK soal Kebebasan Berekspresi

Harga :

https://www.indometro.org/2025/05/revisi-uu-ite-dan-kuhp-harus-mengacu.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi