Dua Pasal Penting dalam UU Ketenagakerjaan yang Lindungi Hak Buruh


Pasal 151 dan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan berikan perlindungan terbaik bagi buruh yang menghadapi PHK. Sayangnya, kedua pasal itu dihapus UU Cipta Kerja, dan coba dikembalikan lagi lewat putusan MK.



Pemutusan hubungan kerja (PHK) lumrah terjadi dalam setiap hubungan industrial. Tindakan PHK dapat terjadi karena beberapa sebab dari pihak perusahaan maupun pegawai. Yang pasti, tindakan melakukan PHK diatur dalam peraturan perundangan dengan tetap mengedepankan hak masing-masing pihak.


Mantan hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Saut C Manalu, mengatakan PHK mengakhiri hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Termasuk mengakhiri hak buruh yang bersangkutan untuk berorganisasi dalam serikat pekerja di perusahaan tersebut. Saut mengatakan ada beberapa yang perlu dicermati dalam proses PHK. 


Antara lain, alasan yang digunakan melakukan PHK baik dari pengusaha atau pekerja/buruh. Tapi perlu diingat ada beberapa alasan yang tak bisa digunakan pengusaha untuk melakukan PHK misalnya karena buruh sakit atau hamil. Kemudian, prosedur PHK, yang melekat juga konvensi organisasi perburuhan PBB (ILO) No.158 Tahun 1982 tentang PHK. 


“Konvensi ini menekankan pengaturan materiil dan prosedur PHK yang intinya menyebut tidak ada PHK yang fair tanpa prosedur yang fair,” ujarnya dalam diskusi TURC bertema Putusan MK No.168/PUU-XXI/2023: Implikasinya dalam Mengukur Standar Kepatuhan Perusahaan & Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh, Sesi Kelima: PHK dan Akibat Hukumnya, Kamis (5/12/2024).


Saut menjelaskan jauh sebelum terbit UU No.13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan prosedur PHK sudah diatur dalam berbagai regulasi. Misalnya, proses PHK dilakukan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) atau Pusat (P4P). Setelah terbit UU 13/2003 kemudian disusul UU No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) mekanisme PHK berubah. Secara umum kedua beleid itu memberikan perlindungan yang baik terhadap buruh yang menghadapi ancaman PHK. Tapi sejak terbit UU Cipta Kerja, perlindungan terhadap buruh dipreteli.


Partner Indonesian Consultant At Law (ICLaw) itu mencatat Pasal 151 dan Pasal 155 UU 13/2003 memberikan perlindungan terbaik bagi buruh yang mengalami PHK. Sebab Pasal 151 ayat (2) memandatkan dalam hal PHK tidak dapat dihindari, ‘maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh’. Ketentuan ini menegaskan maksud PHK harus dirundingkan lebih dulu, sebelum terjadinya PHK.


Selanjutnya Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 mengatur dalam hal perundingan sebagaimana ayat (2) itu benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh ‘penetapan’ dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Saut menjelaskan istilah ‘penetapan’ ini meliputi perjanjian bersama setelah dilakukan perundingan PHK (bipartit). Bisa juga perjanjian bersama setelah perundingan di tingkat mediasi, PHI, atau kasasi di Mahkamah Agung (MA).


Perlindungan terhadap buruh sebagaimana diatur Pasal 151 itu dihapus UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU. Sehingga bunyi Pasal 151 ayat (2) UU 6/2023 yakni Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja ‘diberitahukan’ oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sehingga tidak ada lagi perundingan terhadap maksud PHK, tapi sekedar pemberitahuan PHK oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh.


Saut menilai putusan MK No.168/PUU-XXI/2023 berupaya mengembalikan semangat Pasal 151 UU 13/2003 yang memandatkan jika perundingan bipartit tidak mendapat kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ‘penetapan’ dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.


Pasal 155 menurut Saut salah satu ketentuan UU 13/2003 yang memberikan perlindungan terbaik bagi buruh yang menghadapi PHK. Pasal 155 ayat (1) mengatur PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Selama penetapan itu belum ada, pengusaha dan pekerja/buruh tetap melaksanakan segala kewajibannya. Tapi pengusaha bisa melakukan penyimpangan melalui tindakan skorsing kepada pekerja/buruh dalam proses PHK dengan tetap membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 


“UU Cipta Kerja menghapus konstruksi Pasal 151 dan Pasal 155. Padahal kedua Pasal itu memberikan perlindungan terbaik bagi buruh yang terancam PHK,” tegas Saut.


Menurut Saut pemerintah perlu segera menindaklanjuti putusan MK ini. Walau pertimbangan hukum Mahkamah memandatkan pembuat UU memisahkan klaster ketenagakerjaan dalam UU 6/2023 menjadi UU Ketenagakerjaan baru, tapi proses pembentukan UU tersebut pasti butuh waktu lama. Langkah cepat yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengubah peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Prof Payaman Simanjuntak, berpandangan secara umum putusan MK 168/PUU-XXI/2023  mudah ditindaklanjuti pemerintah. Sebab substansi putusan itu sudah diatur dalam UU 13/2003 dan UU 6/2023 serta berbagai peraturan pelaksana yang ada. Hanya saja, perlu ditambah penjelasan agar sesuai dengan putusan Mahkamah.


“Ini sudah diakomodasi dalam UU. Jadi artinya mungkin tidak terlalu sulit bagi pemerintah, hanya ditambahkan pada penjelasan,” ujarnya.



Sumber : Hukum Online 


ORDER VIA CHAT

Produk : Dua Pasal Penting dalam UU Ketenagakerjaan yang Lindungi Hak Buruh

Harga :

https://www.indometro.org/2025/07/dua-pasal-penting-dalam-uu.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi