Mengurai Jalur Hukum: Peradilan Mana yang Berwenang Tangani Kasus di Aceh?
Sejatinya, perkara yang melibatkan subjek hukum sipil dan militer secara bersama sudah diatur dalam Pasal 89- Pasal 94 KUHAP sebagai perkara koneksitas.
Kejahatan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI, Praka RM -anggota Paspampres-, Praka HS dan Praka J terhadap korban warga Aceh berinisial IM menjadi perhatian publik. Ketiga orang itu yang notabene anggota TNI itu sudah berstatus tersangka dan menjalani pemeriksaan di Pomdam Jaya. Sementara Kepolisian pun menetapkan tiga warga sipil sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Yakni ZHS -kakak ipar Praka RM- dan dua orang penadah barang hasil kejahatan. Aksi kejahatan tersebut menuai kecaman dan desakan agar diberikan sanksi maksimal.
Lantas, bagaimana mekanisme peradilan yang ditempuh jika suatu tindak pidana dilakukan oleh oknum militer yang melibatkan warga sipil?.
Dalam kasus yang melibatkan oknum militer dan warga sipil terdapat irisanantara peradilan umum dan militer. Walhasil terdapat ketentuan koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 89-94 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Pasal 89 ayat (1) menyebutkan, “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Reda Manthovani menjelaskan perkara koneksitas memiliki dua unsur. Yaitu subjek atau persona yang melakukan tindak pidana dan kompetensi peradilan yang mengadili persona tadi. Pertama, unsur pelaku tindak pidana memiliki dua kategori yaitu sipil dan prajurit TNI dan kedua-duanya harus bermufakat atau menyadari bekerja bersama-sama melakukan tindak pidana.
Kedua, mengingat personanya terdiri atas sipil dan militer, maka terdapat dua irisan kompetensi absolut. Yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Keduanya memiliki peluang untuk mengadili perkara tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sipil dan militer. Sehubungan dengan kompetensi peradilan mana yang berwenang, sebenarnya terletak pada hulu atau awal dari penanganan perkaranya ketika dimulainya penyelidikan atau penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP.
Penelitian bersama
Sepanjang ditemukan perkara yang melibatkan sipil dan militer, semestinya didahului dengan membentuk Tim Koneksitas yang terdiri dari gabungan penyidik Polri/Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)/Jaksa bersama dengan Polisi Militer, Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 198 UU 31/1997. Nantinya, Tim Koneksitas pada tahap pra penuntutan/penuntutan menyertakan kegiatan ‘penelitian bersama’ antara jaksa, oditur militer atas dasar hasil penyidikan Tim Koneksitas.
Keseluruhan hasilnya nantinya dituangkan dalam sebuah berita acara. Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka persesuaian pendapat tadi harus dilaporkan oleh Jaksa atau Jaksa tinggi kepada Jaksa Agung. Begitupun pelaporan bakal dilakukan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada Oditur Jenderal ABRI atau TNI.
Persesuaian pendapat ini memiliki dua substansi kesepakatan yang berujung pangkal kepada sejauh mana Tim Koneksitas tadi memutuskan titik berat kerugian yang timbul dari tindak pidana. Pertama, Pasal 91 ayat (1) KUHAP menuntun apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum. Dengan demikian, perkara pidana mesti diproses di peradilan umum. Maka, perwira penyerah perkara membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum.
Surat keputusan ini kemudian menjadi dasar bagi penuntut umum mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang. Selain itu, Pasal 92 ayat (1) KUHAP mengharuskan agar berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh Tim Koneksitas harus dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
Kedua, Pasal 91 ayat (2) KUHAP eksplisit menetapkan apabila menurut pendapat dari Tim Koneksitas titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pendapat tersebut menjadi dasar Oditur Jenderal TNI untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam).
Menhankam kemudian mengeluarkan keputusan yang isinya, menetapkan perkara pidana tersebut diadili peradilan militer. Surat keputusan tersebut dijadikan dasar bahwa penanganan perkara diserahkan kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi. Kemudian, berita acara pemeriksaan yang dibuat Tim Koneksitas harus dibubuhi catatan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang mengajukan perkara. Intinya, berita acara tersebut telah diambil alih olehnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 92 ayat (2) KUHAP.
Potensi tidak dapat diterima
Reda berpandangan proses peradilan yang mengesampingkan UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun UU 31/1997 berpotensi besar mudah dibatalkan keabsahannya dalam pra peradilan. Setidaknya apabila perkaranya tetap diajukan ke pengadilan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan ‘tidak dapat diterima’ alias (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Penanganan perkara yang melibatkan oknum TNI tersebut akan diadili di peradilan militer dan oknum sipil akan diadili di peradilan umum juga terkesan tidak tertib hukum. Sejatinya, perkara yang melibatkan subjek hukum sipil dan militer secara bersama sudah diatur dalam Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP dan disebut sebagai perkara Koneksitas.
Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mendesak agar proses hukum kasus terhadap tiga orang tersangka yang notabene anggota TNI itu melalui mekanisme peradilan umum, bukan militer. Langkah tersebut menjadi penting untuk memastikan proses hukumnya berlangsung dengan transparan dan akuntabel.
“Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam penyelesaian kasus ini sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya dapat terpenuhi,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (28/8/2023).
Hingga berita ini diturunkan, belum terdapat informasi lebih lanjut mengenai peradilan bagi tersangka tersebut. Namun, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda TNI, Julius Widjojono mengatakan penganiayaan berujung korban meninggal dunia yang diduga dilakukan anggota Paspamres mencoreng wajah korps TNI dan menuai respon khusus dari Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Menurut Julius Widjojono, Panglima TNI memastikan prajurit TNI yang terlibat dalam kasus penculikan dan penganiayaan terhadap warga asal Aceh hingga tewas itu bakal diganjar hukuman berat. Selain pemecatan, juga hukuman pidana. Yakni maksimal hukuman mati dan minimal penjara seumur hidup.
“Pasti dipecat dari TNI karena (perbuatan mereka) termasuk tindak pidana berat, melakukan perencanaan pembunuhan,” ujarnya.
Sumber : Hukum Online
Diskusi