Upaya Ganti Kerugian melalui Penggabungan Perkara di Sidang Korupsi Bansos


Melalui Pasal 98 KUHAP korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi tanpa perlu menunggu pidananya inkracht. Selain itu, pembuktian tentang kerugian lebih kuat karena didukung bukti-bukti dari penuntut umum.



Langkah gugatan permintaan ganti kerugian korban bansos kepada pelaku korupsi menemui titik terang. Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh 18 korban korupsi bansos terhadap mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara. Penerimaan ini merupakan sejarah baru, betapa tidak, sebelumnya belum ada gugatan menggunakan Pasal 98 KUHAP dalam perkara korupsi diterima di persidangan.


Kuasa hukum korban dari Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ahmad Fauzi, menjelaskan pada persidangan tersebut, kuasa hukum korban bansos diberikan akses oleh majelis hakim untuk duduk berdampingan dengan jaksa penuntut umum dan berhadapan langsung di depan kuasa hukum Juliari P Batubara.


Belajar kegagalan di masa lampau saat gagal pada kasus Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), meski KUHAP ada bilang ganti rugi tapi penjelasannya tidak dijelaskan secara detil. Sehingga, yang kami lakukan adalah akhirnya kami lakukan aksi interupsi setiap persidangan kepada majelis hakim. Bahkan, justru sampai hakim setengah mengusir,” jelas Fauzi, Rabu (7/7).


Dia menjelaskan melalui Pasal 98 KUHAP tersebut korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi tanpa perlu menunggu pidananya inkracht. Selain itu, pembuktian tentang kerugian lebih kuat karena didukung bukti-bukti dari penuntut umum.


Namun, Fauzi mengatakan dalam kesempatan itu hakim meminta agar Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos untuk melengkapi dokumen administrasi terkait permohonan yang sedang diajukan. Dia menilai dengan bukti dan argumentasi yang diajukan dalam proses persidangan mestinya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut.


Selain itu, kata Fauzi, penggunaan Pasal 98 KUHAP juga memiliki kelemahan seperti korban yang dapat mengajukan kerugian hanya tingkat pertama dan ganti rugi bersifat materiil. Lalu, korban harus meyakinkan penuntut umum untuk memasukan permohonan gugatan ganti rugi ke dalam berkas perkara.


Kemudian, putusan gugatan ganti kerugian sangat bergantung pada perkara pidana. Sehingga tidak dapat mengajukan keberatan jika putusan pidana tidak diajukan upaya hukum dan hak mendapat ganti rugi korban hilang jika putusannya bebas. Lalu, prosedur gugatan tidak sederhana karena masuk perkara pidananya sehingga memungkinkan korban tidak tahu atau terlambat mengajukan gugatan.


Dalam artikel Hukumonline “Bagaimana Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana?” dijelaskan untuk penggabungan perkara ganti kerugian diatur dalam Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. 


Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.


Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat  KUHAP).


Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat Pasal 100 ayat  KUHAP). Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.


Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).


Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.

Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008)Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK



Sumber : Hukum Online


ORDER VIA CHAT

Produk : Upaya Ganti Kerugian melalui Penggabungan Perkara di Sidang Korupsi Bansos

Harga :

https://www.indometro.org/2025/07/upaya-ganti-kerugian-melalui.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi