Hak Korban dalam Proses Hukum : Kenapa Masih Sering Diabaikan?
Di atas kertas, korban punya banyak hak. Tapi di lapangan? Sering banget yang kedengeran justru:
“Sabar ya, Bu. Proses…”
“Nanti kami kabari.” (dan nggak pernah dikabari)
“Ini masuk ranah perdata/bukti kurang.”
Atau yang paling bikin down: perkara mandek tanpa kabar. Padahal, hukum pidana hadir pertama-tama untuk melindungi korban, bukan hanya untuk menghukum pelaku.
Jadi… kenapa hak korban masih sering dipinggirkan?
Apa Saja Hak Korban Menurut Hukum Indonesia?
Berbagai aturan sebenarnya sudah sangat tegas:
a. Hak atas Informasi Proses Penegakan Hukum
Diatur dalam:
UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) → Pasal 5 huruf c & d
Korban berhak tahu perkembangan penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga putusan.
b. Hak Mendapat Perlindungan dan Keamanan
UU LPSK Pasal 5 huruf a
Termasuk: perlindungan fisik, mental, dan rahasia identitas.
c. Hak atas Restitusi & Kompensasi
PP 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
- Restitusi dibayar oleh pelaku.
- Kompensasi dibayar negara, terutama untuk kasus berat (TPPO, terorisme, dsb).
d. Hak atas Pendampingan Psikologis & Hukum
UU LPSK Pasal 5 huruf f
Hak untuk didampingi penasihat hukum sejak awal.
e. Hak untuk Tidak Diintimidasi / Reviktimisasi
UU LPSK Pasal 5 huruf g
Termasuk larangan aparat mempermalukan atau menyalahkan korban.
Dengan aturan selengkap itu, mustinya aman. Tapi apa kenyataannya udah begitu?
Kenapa di Lapangan Hak Korban Sering Diabaikan?
(1) Budaya “Pelaku-Centris” dalam Hukum Pidana
Sistem hukum kita masih fokus pada membuktikan kesalahan pelaku, proses formal penyidikan–penuntutan dan prosedur teknis. Sementara posisi korban… ikut dari belakang aja.
(2) Aparat Kekurangan Pelatihan tentang Victimology
Belum semua penyidik memahami trauma korban, teknik wawancara sensitif gender dan prinsip non-judgmental. Akibatnya korban malah disalahkan atau ditekan.
(3) Korban Tak Tahu Haknya
Sebagian besar masyarakat tidak tahu bahwa korban berhak bertanya, berhak dikabari, berhak pendampingan psikolog/advokat dan berhak restitusi.
Ketidaktahuan = mudah terabaikan.
(4) LPSK Belum Optimal Tersosialisasi
Banyak korban bahkan tidak tahu harus mengajukan ke LPSK.
(5) Stigma Sosial
Terutama pada korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perundungan dan eksploitasi. Banyak korban akhirnya diam, menarik laporan, atau tidak melanjutkan proses hukum.
Bagaimana Seharusnya Negara Hadir?
a. Aparat WAJIB Proaktif Memberikan Informasi
Ini bukan “budi baik”, tapi kewajiban menurut UU 31/2014.
b. Setiap Korban Wajib Ditawarkan Layanan LPSK
Bukan korban yang harus inisiatif—mestinya aparatlah yang mendorong.
c. Mekanisme Pengaduan Terintegrasi
Korban harus mudah mengakses SPKT Polri, LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM dan UPTD PPA.
d. Pemeriksaan yang Sensitif Korban
Termasuk ruangan khusus, pemeriksaan pendampingan psikolog dan tidak ada tekanan atau intimidasi.
e. Pembaruan Hukum Pidana Berbasis Korban
Indonesia perlu memperkuat justice for victim dan restorative justice yang tidak memaksa korban.
Korban sudah punya banyak hak, tapi implementasinya masih jauh dari ideal.
Negara harus hadir bukan hanya sebagai “pengadil”, tapi sebagai pelindung pertama bagi warganya yang sedang dalam posisi paling lemah.
Perlindungan korban bukan bonus hukum. Itu inti dari keadilan.
Sumber Resmi
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
KUHAP Pasal 10, 98–101 (gugatan ganti rugi & restitusi)
Putusan MK No. 65/PUU-X/2012 (penguatan hak korban kekerasan seksual)
Situs Resmi LPSK: lpsk.go.id (informasi hak & layanan korban)
Diskusi