Hukum Pidana sebagai Alat Politik: Potret Penggunaan Kekuasaan dalam Sistem Peradilan Indonesia

Fenomena penggunaan hukum pidana sebagai alat politik bukan hal baru—baik di dunia internasional maupun Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus di mana proses pidana “terkesan diarahkan”, “dipercepat”, atau “justru diperlambat” makin sering jadi sorotan publik.

Biasanya, pola ini muncul menjelang kontestasi politik, konflik internal kekuasaan, atau ketika pihak tertentu ingin menekan lawan.


Di ranah akademik fenomena ini disebut:

“Weaponization of criminal law” atau “instrumentalization of law.”

Bahasanya keren, tapi intinya: hukum dipakai bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan kekuasaan.


Bentuk–Bentuk Penyalahgunaan Hukum Pidana untuk Kepentingan Politik

a. Kriminalisasi Lawan Politik

Ini yang paling umum. Ciri-cirinya:

- Laporan lama tiba-tiba diproses cepat.

- Perkara kecil dijadikan perkara besar.

- Ada tekanan publik yang tiba-tiba muncul secara seragam (biasanya buzzer).

- Penyidikan dan penahanan terasa “dipaksa”.

b. Selektif Enforcement

Penegakan hukum tidak konsisten:

Kasus si A langsung diproses.

Kasus si B (yang punya akses kekuasaan) dibiarkan menguap.

Ini yang bikin publik bilang “hukum hanya tajam ke bawah”.

c. Penggunaan Pasal Karet

Pasal-pasal multitafsir seperti:

- UU ITE (Pasal 27, 28, 29)

- UU Ormas

Beberapa pasal penghinaan/pencemaran

Sering banget digunakan untuk membungkam pengkritik pemerintah.

d. Intervensi dalam Tahap Proses Peradilan

Bentuknya bisa:

- Percepatan jadwal sidang

- Penundaan sidang berulang tanpa alasan

- Mutasi mendadak pada penyidik/pengawas/penuntut

- Putusan yang jauh dari logika umum atau prinsip proporsionalitas

e. Restorative Justice yang Dipakai sebagai “Rem Politik”

Ada beberapa kasus politisi publik yang tiba-tiba “damaikan” lewat RJ supaya tidak jadi gaduh—walaupun secara norma, RJ seharusnya tidak berlaku untuk kasus tertentu.


Dampak Penggunaan Hukum Pidana sebagai Alat Politik

a. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat terhadap Penegak Hukum

Ini yang paling fatal. Sistem hukum kehilangan legitimasinya.

b. Terancamnya Kebebasan Sipil

Jurnalis, aktivis, pengkritik bisa takut bersuara.

c. Rusaknya Independensi Institusi Peradilan

Mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim bisa dianggap “ikut permainan”.

d. Politisasi Keadilan

Keadilan menjadi relatif, tergantung siapa pelapor dan siapa terlapor.


Landasan Hukum yang Sebenarnya Melarang Penyalahgunaan Kekuasaan

Walaupun praktiknya sering terjadi, aturan yang ngelarang penyalahgunaan kekuasaan tuh jelas dan tegas banget.

(1) UUD 1945

Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman independen.

Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang adil.

(2) KUHAP

Prinsip due process of law, pemeriksaan objektif dan imparsial.

Larangan abuse of process (meski tak tertulis, menjadi prinsip umum peradilan).

(3) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Melarang pejabat melakukan penyalahgunaan wewenang.

Pasal 17 — tidak boleh menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan.

(4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Hakim bebas dari tekanan mana pun.

Putusan harus berdasarkan hukum dan hati nurani.

(5) Kode Etik Polri & Jaksa

Melarang intervensi politik dan keberpihakan.

(6) UU ITE

(Justru sering disalahgunakan).


Tetapi semangat revisinya adalah mengurangi pasal karet.


Contoh Kasus yang Sering Diangkat Publik (tanpa menyebut nama)

Beberapa pola kasus yang sering jadi perhatian publik:

- Aktivis kritis ditetapkan tersangka tepat setelah mengkritik kebijakan.

- Politisi oposisi tiba-tiba “naik kasus lama” menjelang pemilu.

- Kasus korupsi pejabat tertentu yang mendadak hilang atau dihentikan.

- Warga yang melaporkan dugaan pelanggaran malah dilaporkan balik (SLAPP).


Bagaimana Mencegah Hukum Dijadikan Alat Politik?

1. Penguatan mekanisme oversight

Ombudsman, Kompolnas, Komisi Kejaksaan harus lebih berwenang.

2. Transparansi proses pidana

Setiap proses harus bisa dilihat publik: SPDP, timeline, dan status hukum.

3. Revisi pasal karet

UU ITE masih jadi sumber masalah, harus makin dipersempit definisinya.

4. Pembatasan kekuasaan eksekutif

Agar tidak bisa mengintervensi aparat penegak hukum.

5. Pendidikan Hukum Publik

Ketika masyarakat melek hukum, penyalahgunaan kekuasaan jadi sulit dilakukan.


Hukum pidana semestinya jadi the ultimate protector, bukan the ultimate weapon. Ketika hukum dijadikan senjata politik, korban terbesarnya bukan lawan politik—tapi keadilan publik. Indonesia sudah punya aturan yang bagus, tapi yang dibutuhkan adalah: kemauan politik, independensi aparat, dan keberanian publik untuk mengawasi.





Sumber 

UUD 1945 Pasal 24 & Pasal 28D

UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Kode Etik Polri & PP 1/2003

Kode Etik Jaksa (Peraturan Jaksa Agung No. PER-014/A/JA/11/2012)

UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE



ORDER VIA CHAT

Produk : Hukum Pidana sebagai Alat Politik: Potret Penggunaan Kekuasaan dalam Sistem Peradilan Indonesia

Harga :

https://www.indometro.org/2025/11/hukum-pidana-sebagai-alat-politik.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi