Judicial Review vs Yurisprudensi: Mana yang Lebih Berpengaruh dalam Praktik?
Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut civil law, peraturan perundang-undangan adalah sumber hukum utama. Namun dalam praktik, dua instrumen hukum lain justru punya pengaruh besar dalam membentuk arah penegakan hukum:
1. Judicial Review (JR) – pembatalan norma oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA).
2. Yurisprudensi – putusan pengadilan yang berulang-ulang diikuti sebagai pedoman.
Pertanyaannya: mana yang sebenarnya lebih kuat dan lebih berpengaruh dalam praktik?
Jawabannya: keduanya berpengaruh, tapi melalui mekanisme dan ruang berbeda. Mari kita bedah satu per satu.
Apa Itu Judicial Review?
Judicial review adalah mekanisme pengujian norma hukum oleh lembaga yudikatif.
Ada dua bentuk:
a. Judicial Review oleh MK (UUD 1945 Pasal 24C ayat (1))
MK menguji:
Undang-Undang terhadap UUD 1945
> Putusan MK final & mengikat (final and binding).
Contoh:
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 → Anak luar kawin punya hubungan perdata dengan ayah biologis → mengubah pemahaman nasional soal status anak.
Putusan MK No. 38/PUU-VII/2009 → Korupsi tidak lagi termasuk “kejahatan politik”.
b. Judicial Review oleh MA (UU No. 5/2004 jo. UU No. 3/2009 tentang MA)
MA menguji:
Peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Contoh:
MA membatalkan Perda bermasalah (pajak/ketertiban/lingkungan).
Kekuatan JR
Menghapus atau mengubah norma secara nasional.
Mengikat seluruh warga negara.
Apa Itu Yurisprudensi?
Yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang konsisten diikuti hakim lain dan menjadi pedoman praktik meski tidak mengikat secara formal.
Dalam negara civil law, yurisprudensi bukan sumber hukum formal, tapi seringkali lebih “hidup” dan lebih fleksibel karena mengisi celah ketika norma tidak jelas.
Contoh yurisprudensi penting:
1. Putusan MA No. 42 PK/Pid/2006 (Kasus Sisminbakum)
MA menyatakan perbuatan melawan hukum administrasi tidak otomatis menjadi tindak pidana.
→ Pengaruh besar di kasus-kasus korupsi.
2. Putusan MA No. 275 K/Pdt/2012
Orang tua biologis boleh mengajukan penetapan asal-usul anak.
3. Putusan MA No. 123 K/Pdt.Sus-HKI/2014
Yurisprudensi Hak Cipta dalam konten digital.
Kekuatan yurisprudensi:
Fleksibel mengisi kekosongan hukum.
Membangun pola praktik pengadilan.
Dipakai hakim lain meskipun tidak wajib.
Perbandingan Pengaruh JR vs Yurisprudensi
Berikut analisis akademisnya:
A. Dampak terhadap sistem hukum
JR mengubah “teks hukum”, yurisprudensi mengubah “cara kerja hukum”.
B. Jangkauan
JR (MK/MA): berlaku umum, menyeluruh, final.
Yurisprudensi: efektif di ruang peradilan; kekuatan tumbuh dari konsistensi.
C. Pengaruh dalam praktik sehari-hari
Justru di sini yang menarik. Banyak hakim lebih cepat merujuk yurisprudensi ketika menghadapi kasus rumit. JR kadang tidak berdampak langsung jika tidak ditindak melalui peraturan turunan. Contoh nyata:
Putusan MK tentang restorative justice butuh aturan baru. Tapi yurisprudensi MA tentang perbuatan melawan hukum administrasi langsung dipakai.
Pengaruh JR lebih normatif-struktural → membentuk aturan besar negara.
Pengaruh yurisprudensi lebih praktis-operasional → membentuk cara hakim memutus perkara.
Keduanya sama-sama penting, tapi dalam praktik sehari-hari:
➡ Yurisprudensi sering lebih menentukan hasil perkara.
Sedangkan:
➡ Judicial Review lebih menentukan struktur hukum nasional.
Sumber Resmi
Konstitusi & Undang-Undang
1. UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) → kekuasaan kehakiman
2. UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) → kewenangan MK
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4. UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi
5. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
6. Surat Edaran MA (SEMA) No. 3 Tahun 2015 → penggunaan yurisprudensi tetap
Putusan penting:
MK No. 46/PUU-VIII/2010
MK No. 38/PUU-VII/2009
MA No. 42 PK/Pid/2006
MA No. 275 K/Pdt/2012
Diskusi