Kriminalisasi Korban Kekerasan Seksual: Kelemahan Implementasi UU TPKS di Lapangan
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), banyak pihak menaruh harapan besar bahwa korban kekerasan seksual akan memperoleh perlindungan hukum yang nyata dan menyeluruh. Namun, realitas di lapangan sering kali berbanding terbalik. Masih banyak korban yang justru dikriminalisasi, disalahkan, bahkan diproses hukum ketika berusaha mencari keadilan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa implementasi UU TPKS masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam hal pemahaman aparat penegak hukum dan budaya victim-blaming yang masih mengakar.
Kriminalisasi korban kekerasan seksual bisa terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain:
1. Pelaporan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, ketika korban berani bersuara di media sosial.
2. Proses hukum yang bias gender, di mana korban justru dituduh “mengundang” kekerasan atau “tidak menjaga diri”.
3. Pemeriksaan yang berulang dan traumatis, karena aparat tidak menerapkan prinsip perlindungan korban sebagaimana diamanatkan UU TPKS.
Contohnya, beberapa kasus di 2023–2024 menunjukkan korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan atau tempat kerja yang justru dipaksa mencabut laporan karena tekanan sosial atau ancaman hukum dari pihak pelaku.
Beriku beberapa kelemahan yang menonjol dalam implementasi UU TPKS, antara lain:
1. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) mengenai prinsip non-kriminalisasi korban sebagaimana tercantum dalam Pasal 66 UU TPKS.
2. Minimnya pendampingan psikologis dan hukum, padahal Pasal 68 UU TPKS mewajibkan pemerintah menyediakan layanan terpadu.
3. Tidak adanya mekanisme sanksi bagi aparat yang melanggar hak korban, sehingga penyimpangan dalam penanganan perkara sulit ditindak.
4. Budaya patriarki dan victim-blaming masih sangat kuat, memengaruhi proses penyelidikan hingga persidangan.
UU TPKS membawa paradigma baru: korban harus menjadi subjek utama dalam proses hukum, bukan sekadar alat bukti. Namun, penerapannya masih terhambat oleh:
- Minimnya pelatihan sensitif gender bagi aparat;
- Belum optimalnya koordinasi antar lembaga layanan korban (KemenPPPA, LPSK, Komnas Perempuan, dan kepolisian);
- Kurangnya pengawasan publik terhadap penanganan kasus kekerasan seksual.
Kriminalisasi korban kekerasan seksual bukan hanya bentuk kegagalan hukum, tetapi juga kegagalan moral negara dalam melindungi warga rentan. Diperlukan upaya serius untuk:
- Memperkuat pelatihan dan pengawasan terhadap aparat hukum;
- Menegakkan prinsip non-kriminalisasi korban secara konsisten;
- Mendorong budaya hukum yang berpihak pada korban, bukan pada pelaku.
Dasar Hukum
1. UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
2. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
3. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
Contoh kasus terkaitt, pada 2024, sempat viral kasus mahasiswi yang melapor kekerasan seksual namun dilaporkan balik dengan UU ITE oleh pelaku. Kasus ini menyoroti lemahnya pemahaman aparat dan belum kuatnya perlindungan bagi korban, meskipun UU TPKS sudah berlaku.
Sumber Resmi:
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Komnas Perempuan – Laporan Tahunan 2024
KemenPPPA – Statistik Kasus Kekerasan Seksual 2024
Diskusi