Penyalahgunaan Pasal Penghinaan Pejabat dalam RKUHP : Kenapa Bisa Jadi "Senjata Bisu" untuk Kritik Publik?

Latar Belakang: Kenapa Pasal Ini Diprotes?

RKUHP yang baru disahkan pada 2022 memasukkan kembali pasal-pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah, lembaga negara, dan pejabat publik.

Masalahnya?

Indonesia memiliki sejarah kelam soal pasal karet. Dari UU ITE sampai KUHP lama, banyak warga akhirnya terjerat hanya karena kritik soal pelayanan publik, protes di media sosial, sindiran kebijakan dan keluhan soal aparat. Akibatnya, banyak pihak khawatir pasal ini menjelma jadi alat membungkam suara publik, bukan melindungi kehormatan pejabat negara.


Apa yang Diatur di RKUHP?

Beberapa pasal yang dianggap rawan:

- Pasal 240 RKUHP (Penghinaan terhadap pemerintah)

- Melarang penyebaran penghinaan terhadap pemerintah dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun.

- Pasal 218–220 RKUHP (Penghinaan presiden/wakil presiden)

- Mengatur penyerangan kehormatan presiden/wapres dengan pidana hingga 3,5 tahun, -meski sifatnya delik aduan.

- Pasal 351 RKUHP (Penghinaan lembaga negara)

Dapat menjerat kritik yang dianggap menjatuhkan martabat lembaga.


Masalah utamanya:

➡ tidak ada batas jelas antara kritik, evaluasi, satire, dan penghinaan.

➡ Rumusan “menyerang kehormatan” sangat subjektif.

➡ Risiko: kritik publik yang sah bisa dianggap tindak pidana.


Kenapa Pasal Ini Berbahaya? (Analisis Risiko)

1. Pasal Karet yang Bisa Diinterpretasi Bebas

Pejabat yang tersinggung bisa menganggap kritik sebagai penghinaan. Padahal “tersinggung” itu bukan ukuran hukum.

2. Benturan dengan Kebebasan Berekspresi (UUD 1945 Pasal 28E & ICCPR)

Indonesia terikat kewajiban internasional melindungi hak berpendapat. Pasal ini berpotensi melanggar standar HAM.

3. Efek Jera ke Masyarakat (Chilling Effect)

Orang jadi takut bicara:

“Daripada kena kasus, mending diam.” Ini bahaya karena kritik publik = kontrol sosial terhadap pemerintah.

5.Pengalaman Buruk UU ITE Terulang

UU ITE pasal pencemaran nama baik aja sudah bikin ribuan warga dipidana. Kini, RKUHP bisa memperluas masalah.


Kasus-Kasus Mirip yang Muncul Sebelumnya

Meskipun RKUHP baru diberlakukan bertahap, pola penyalahgunaannya sudah terlihat dari:

- Kasus kritik bupati/walikota → dilaporkan balik

- Warga protes jalan rusak → malah dipanggil polisi

- Aktivis lingkungan mengkritik perusahaan → dipidanakan penghinaan

Semua ini menunjukkan bahwa pasal seperti ini mudah sekali diselewengkan.


Kenapa Pemerintah Masih Mempertahankannya?

Beberapa alasan yang sering dipakai:

- untuk menjaga wibawa negara

- ntuk mencegah fitnah dan ujaran kebencian

- untuk melindungi presiden/lembaga negara

Masalahnya:

Wibawa negara dibangun dari kerja dan integritas, bukan pidana. Bukan tugas hukum pidana untuk membungkam kritik yang relevan dengan kepentingan publik.


Apa Solusinya?

✔ Memperjelas definisi “penghinaan” dalam aturan turunan

Biar tidak disalahgunakan.

✔ Perlu memperkuat pengecualian: kritik, kajian akademik, satire

Supaya masyarakat aman menyampaikan pendapat.

✔ Melibatkan MK atau revisi lanjutan

Beberapa lembaga sudah berencana uji materi.

✔ Literasi hukum untuk masyarakat

Pendapat boleh keras asal tidak mengandung fitnah/hoaks.


Pasal penghinaan pejabat dalam RKUHP memang tidak salah sepenuhnya, tapi potensinya untuk disalahgunakan sangat besar.

Kalau pengawasannya lemah, pasal ini bisa berubah jadi senjata hukum yang bikin publik takut bicara, dan itu ancaman serius bagi demokrasi.





Sumber

RUU KUHP 2022 (naskah final DPR)

UUD 1945 Pasal 28E & 28F (hak kebebasan berpendapat)

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 (penghinaan presiden tidak boleh jadi delik umum)



ORDER VIA CHAT

Produk : Penyalahgunaan Pasal Penghinaan Pejabat dalam RKUHP : Kenapa Bisa Jadi "Senjata Bisu" untuk Kritik Publik?

Harga :

https://www.indometro.org/2025/11/penyalahgunaan-pasal-penghinaan-pejabat.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi