Penyidikan Berlarut-larut: Batas Waktu, Hak Tersangka & Tanggung Jawab Penyidik
Penyidikan adalah proses penting dalam sistem peradilan pidana. Tapi dalam praktik, banyak kasus “menggantung”—laporan sudah dibuat, saksi sudah diperiksa, tapi status perkara tidak pernah jelas. Kondisi ini sering disebut penyidikan berlarut-larut (undue delay).
Di Indonesia, masalah ini sering terjadi pada kasus penipuan, penggelapan, hingga KDRT. Masyarakat bingung karena tidak tahu apakah penyidik boleh menunda perkara tanpa batas waktu. Padahal… hukum kita jelas mengatur bahwa setiap penyidikan harus dilakukan secara cepat, tepat, dan profesional.
APA ITU PENYIDIKAN BERLARUT-LARUT?
Penyidikan dianggap berlarut-larut ketika:
🔸 Tidak ada perkembangan signifikan dalam waktu lama
🔸 SP2HP tidak diberikan kepada pelapor/terlapor
🔸 Penyidik tidak melakukan langkah wajib (pemeriksaan saksi, gelar perkara, dsb.)
🔸 Perkara ditunda tanpa alasan objektif
Penyidikan yang terlalu lama merugikan dua pihak sekaligus:
➡ Korban kehilangan akses ke keadilan
➡ Tersangka tidak dapat kepastian hukum (padahal praduga tak bersalah berlaku)
DASAR HUKUM YANG MENGATUR
1. Pasal 7 ayat (1) huruf f KUHAP
Penyidik wajib melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab untuk mempercepat penyidikan.
2. Pasal 50 KUHAP
Setiap tersangka berhak segera diperiksa oleh penyidik.
3. Pasal 109 KUHAP
Penyidikan harus dihentikan (SP3) jika tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, demi hukum (kadaluarsa, tersangka meninggal, dll.)
Artinya: penyidik tidak boleh menggantung kasus tanpa keputusan.
4. Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Mengatur SOP penyidikan yang cepat, profesional, dan terukur.
5. Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
Mengatur kewajiban SP2HP dan batas-batas tindakan penyidik.
6. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Termasuk pelayanan kepolisian → harus cepat, akuntabel, dan berkepastian waktu.
7. Peraturan Kompolnas No. 1 Tahun 2022
Pelapor/terlapor berhak mengadukan penyidikan yang lambat.
8. Perma No. 4 Tahun 2015
Pengujian sah/tidaknya penghentian penyidikan (praperadilan).
Termasuk diam-diam tidak memproses perkara → bisa diuji!
HAK PELAPOR DAN TERLAPOR
Hak Pelapor
Mendapat SP2HP secara berkala (Perkap 6/2019)
- Meminta gelar perkara
- Mengajukan pengawasan khusus (wasus)
- Melapor ke Propam jika penyidik tidak bekerja profesional
- Mengajukan praperadilan jika penyidikan mandek
Hak Terlapor/Tersangka
- Hak untuk segera diperiksa (Pasal 50 KUHAP)
- Hak memperoleh kepastian hukum
- Hak mendapatkan pendampingan hukum
- Hak mengajukan praperadilan untuk “penyidikan tanpa kepastian”
KONSEKUENSI BAGI PENYIDIK
Jika penyidik menahan-nahan perkara tanpa dasar yang sah, bisa kena:
1. Sanksi Kode Etik (KEPP)
– Teguran
– Mutasi
– Pembebasan jabatan
– Pemberhentian
Dasar: PP No. 2 Tahun 2003 & Perpol No. 7 Tahun 2022.
2. Sanksi Administratif
– Penundaan kenaikan pangkat
– Penurunan jabatan
– Demosi
3. Gugatan Praperadilan
Korban/tersangka bisa minta hakim memerintahkan Polri menyelesaikan penyidikan.
4. Gugatan Perdata (PMH – Perbuatan Melawan Hukum)
Atas kerugian akibat lambatnya penyidikan.
CONTOH KASUS NYATA
Contoh 1: Kasus Penipuan Online yang Mandek 1 Tahun
Pelapor sudah berulang kali minta SP2HP, tapi tidak pernah diberikan. Setelah mengadu ke Propam, penyidikan baru berjalan dan penyidik lama diproses etik.
Contoh 2: Kasus KDRT yang Tidak Ditindaklanjuti
Meski bukti visum lengkap, penyidik tidak memanggil terlapor selama 8 bulan. Korban mengajukan praperadilan → hakim memerintahkan penyidik mempercepat proses dan memberi batas waktu.
SOLUSI UNTUK MASYARAKAT
💡 Simpan semua bukti komunikasi dengan penyidik
💡 Minta SP2HP secara resmi
💡 Ajukan Wasus ke atasan penyidik
💡 Laporkan ke Propam/Kompolnas jika tidak ada progres
💡 Ajukan praperadilan jika mandek terlalu lama
Sumber :
Peraturan Kompolnas No. 1 Tahun 2022
Diskusi