Pertanggungjawaban Pidana Orang Tua dalam Kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia


Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, ironisnya, sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak justru terjadi di dalam rumah, dengan orang tua sebagai pelaku utama.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa setiap tahun, ribuan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan fisik, psikis, maupun seksual — dan sebagian besar pelakunya adalah orang tua atau anggota keluarga dekat.

Pertanyaannya: bagaimana pertanggungjawaban pidana orang tua ketika mereka menjadi pelaku kekerasan terhadap anak?


Dasar Hukum Perlindungan Anak

Perlindungan anak diatur secara komprehensif dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) — terutama pasal-pasal terkait penganiayaan (Pasal 351–355 KUHP).

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Perlindungan Anak.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).


Bentuk Kekerasan yang Dapat Dipidana

Menurut Pasal 76C UU Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan dapat meliputi:

- Kekerasan fisik (memukul, menampar, menendang, dll.)

- Kekerasan psikis (menghina, mengancam, menakut-nakuti)

- Kekerasan seksual

- Penelantaran anak

Jika dilakukan oleh orang tua kandung, maka hukuman dapat diperberat karena pelaku memiliki hubungan tanggung jawab dan kekuasaan atas anak.


Pertanggungjawaban Pidana Orang Tua

Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyebutkan:

> “Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.”

Namun, jika pelaku adalah orang tua, maka ancaman hukuman dapat diperberat:

> Pasal 80 ayat (4): “Dalam hal anak meninggal dunia, pelaku dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.”

Selain itu, Pasal 81 dan 82 UU TPKS juga dapat diterapkan jika kekerasan yang dilakukan mengandung unsur eksploitasi atau kekerasan seksual.


Aspek Moral dan Etika Hukum

Kekerasan oleh orang tua bukan hanya melanggar hukum positif, tapi juga menghancurkan nilai kepercayaan dan kasih dalam keluarga.

Dalam doktrin hukum pidana, hubungan keluarga tidak menghapus kesalahan (geen straf zonder schuld), justru dapat menjadi faktor pemberat (aggravating factor) karena pelaku menyalahgunakan kepercayaan dan kekuasaannya.


Contoh Kasus Aktual: Kasus Bilqis dari Makassar (2024)

Kasus ini sempat menggemparkan publik, di mana seorang anak bernama Bilqis (6 tahun) meninggal akibat penganiayaan berat oleh ibu kandung dan ayah tirinya. Pelaku dijerat dengan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Kasus ini menunjukkan betapa negara harus hadir secara tegas dalam menegakkan perlindungan hukum terhadap anak, bahkan jika pelakunya adalah orang tua sendiri.


Maka dari itu, orang tua memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk melindungi anak, bukan menyakiti mereka. Kekerasan terhadap anak bukan “urusan rumah tangga”, tetapi tindak pidana serius yang mengancam masa depan generasi bangsa.

Hukum Indonesia menempatkan anak sebagai subjek hukum yang harus dilindungi penuh, dan pelaku — siapa pun, bahkan orang tua — wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.




Sumber Hukum Resmi

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 17 Tahun 2016

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS

Putusan PN Makassar No. 458/Pid.Sus/2024/PN Mks (Kasus Bilqis)



ORDER VIA CHAT

Produk : Pertanggungjawaban Pidana Orang Tua dalam Kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia

Harga :

https://www.indometro.org/2025/11/pertanggungjawaban-pidana-orang-tua.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi