Sengketa Tanah Adat dan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Investasi Nasional

Tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar aset ekonomi, tetapi bagian dari identitas, spiritualitas, dan keberlanjutan hidup mereka. Namun, dalam praktik pembangunan nasional, konflik antara investor dan masyarakat adat masih sering terjadi karena tumpang tindih hak atas tanah.

Di satu sisi, pemerintah mendorong investasi untuk pertumbuhan ekonomi; di sisi lain, masyarakat adat menuntut pengakuan atas hak ulayat mereka.


Landasan Hukum

Beberapa dasar hukum utama yang mengatur hak masyarakat hukum adat atas tanah adalah:

1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI.

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Mengakui adanya hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, namun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional.

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Memberikan dasar hukum bagi pengakuan desa adat dan kelembagaannya.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

Menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan milik masyarakat hukum adat.


Permasalahan yang Timbul

- Konflik tanah adat umumnya muncul karena:

- Kurangnya pengakuan hukum formal terhadap wilayah adat dalam peta administrasi negara;

- Tumpang tindih izin investasi (seperti pertambangan, perkebunan, atau proyek infrastruktur) di atas tanah adat;

- Minimnya partisipasi masyarakat adat dalam proses perizinan dan pengambilan keputusan;

- Penegakan hukum yang lemah dan belum adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang berpihak pada masyarakat adat.


Contoh Kasus Nyata

Salah satu kasus terkenal terjadi di Kalimantan Barat, di mana lahan yang telah lama dikuasai masyarakat adat Dayak diberikan izin konsesi kepada perusahaan kelapa sawit. Masyarakat menggugat izin tersebut karena dianggap melanggar hak ulayat. Setelah melalui proses panjang, sebagian wilayah akhirnya dikembalikan ke masyarakat adat berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan rekomendasi Komnas HAM.

Kasus serupa juga terjadi di Papua dan Sulawesi, menunjukkan bahwa konflik semacam ini tidak bersifat lokal, melainkan nasional.


Arah Kebijakan dan Solusi

Untuk menekan konflik dan memastikan keadilan bagi masyarakat adat, diperlukan langkah-langkah strategis:

1. Inventarisasi dan pemetaan wilayah adat secara nasional, melibatkan masyarakat lokal secara langsung.

2. Sinkronisasi peraturan antara pusat dan daerah dalam pemberian izin investasi.

3. Kewajiban perusahaan melakukan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) sebelum memulai proyek di tanah adat.

4. Penguatan kelembagaan masyarakat adat agar mampu melakukan negosiasi hukum dan ekonomi.

5. Pengawasan lintas lembaga seperti KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Komnas HAM.



Sengketa tanah adat bukan sekadar persoalan agraria, melainkan ujian bagi keadilan sosial dan kedaulatan hukum di Indonesia.

Pengakuan formal terhadap hak ulayat dan partisipasi masyarakat adat dalam proses pembangunan harus menjadi prioritas agar investasi berjalan berkelanjutan dan berkeadilan.





Sumber Resmi:

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012

Kementerian ATR/BPN

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Komnas HAM RI – www.komnasham.go.id



ORDER VIA CHAT

Produk : Sengketa Tanah Adat dan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Investasi Nasional

Harga :

https://www.indometro.org/2025/11/sengketa-tanah-adat-dan-hak-masyarakat.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi