Standar Etika Jaksa dalam Mengambil Diskresi: Menjaga Keadilan di Tengah Kewenangan yang Luas


Jaksa sebagai dominus litis memiliki kewenangan besar untuk menentukan apakah suatu perkara layak dituntut atau dihentikan. Kewenangan ini disebut diskresi penuntutan—dan justru di titik inilah integritas menjadi ujian.

Diskresi bisa menghasilkan keadilan substantif, tetapi tanpa etika dan pengawasan, diskresi dapat berubah menjadi penyalahgunaan wewenang.


Dasar Etika dan Hukum Diskresi Jaksa

1. Kode Perilaku Jaksa – Keputusan Jaksa Agung No. PER-067/A/JA/07/2007

Mengatur integritas, kejujuran, objektivitas, profesionalitas, tidak memihak, dan bebas dari pengaruh kekuatan eksternal.

2. UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan

Pasal 8, Jaksa wajib: adil, tidak diskriminatif, dan memegang teguh etika profesi.

3. Pedoman Jaksa Internasional – UN Guidelines on the Role of Prosecutors

Standar global yang wajib dijadikan rujukan untuk bertindak tanpa motif politik, menjunjung hak asasi manusia, menghindari konflik kepentingan, dan juga menggunakan diskresi secara proporsional.


Prinsip Etika yang Harus Dipenuhi dalam Pengambilan Diskresi

1. Prinsip Objektivitas

Jaksa wajib menilai kasus berdasarkan fakta dan hukum—bukan tekanan eksternal. Termasuk pertimbangan tentang kepentingan korban, tingkat kesalahan pelaku, dampak sosial, dan prinsip keadilan. Tentu saja tidak boleh ada unsur “like or dislike” atau kedekatan personal.

2` Prinsip Akuntabilitas

Setiap keputusan diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara internal maupun publik. Jaksa wajib menyertakan  alasan hukum, dasar pertimbangan objektif, juga risiko dan alasan penghentian atau penerusan perkara.

Diskresi bukan keputusan “gelap”, tetapi keputusan administratif yang bisa diuji.

3. Prinsip Transparansi Terbatas

Meski tidak semua informasi dapat dibuka, tetapi Kejaksaan wajib mempublikasikan dasar penerapan Restorative Justice, alasan SP3, alasan diversi, dan ringkasan pertimbangan yang tidak melanggar kerahasiaan penyidikan.

Transparansi mencegah curiga publik dan menjaga kepercayaan.

4. Prinsip Proporsionalitas

Diskresi harus seimbang antara kepentingan umum, kepentingan korban, hak tersangka. Diskresi tidak boleh digunakan untuk membebaskan pelaku berat, menghentikan perkara demi kepentingan politik, dan menekan kelompok rentan

Proporsionalitas menjaga agar diskresi tetap “masuk akal”.

5. Prinsip Bebas dari Konflik Kepentingan

Jaksa dilarang menangani perkara yang menyangkut keluarga/kerabat, menerima hadiah atau keuntungan, berteman dekat dengan pelapor atau pelaku, dan terlibat dalam kepentingan bisnis terdakwa. Jika ada potensi konflik → jaksa wajib mengundurkan diri dari penanganan perkara.


Masalah yang Sering Terjadi dalam Praktik Diskresi

1. Tekanan Politik & Ekonomi

Diskresi sangat rentan dipengaruhi oleh pejabat daerah, pemilik modal, tokoh politik, dan juga aparat internal. Inilah yang membuat perlunya pengawasan berlapis.

2. Diskriminasi terhadap Masyarakat Miskin

Kasus-kasus kecil masyarakat miskin sering tetap dituntut karena tidak mampu membayar ganti rugi atau berdamai. Sebaliknya, pelaku yang kaya bisa mudah memperoleh penghentian perkara melalui RJ. Hal ini termasuk pelanggaran etika ketidakadilan struktural.

3. Minimnya Dokumentasi Diskresi

Tanpa dokumentasi yang baik, keputusan jaksa sulit dilacak dan berpotensi menjadi celah korupsi.

4. Potensi Penyalahgunaan untuk “Jual-Beli Perkara”

Diskresi adalah titik yang paling sering terjadi korupsi, contohnya penghentian kasus, pengurangan tuntutan, dan “membantu mengamankan” pelaku tertentu.

Ini pelanggaran berat terhadap kode etik dan bisa dikenai pidana.


Contoh Kasus Nyata Penyimpangan Diskresi (Beberapa Tahun Terakhir)

1. Kasus SP3 Kontroversial pada Kasus Korupsi Daerah

Beberapa daerah ditemukan SP3 diberikan pada tersangka korupsi setelah adanya dugaan “negosiasi”. Komisi Kejaksaan mencatat ini sebagai penyimpangan etika dan profesionalitas.

2. Kasus Jaksa yang Mengurangi Tuntutan karena Intervensi Internal/Politik

Ada jaksa yang terbukti menerima gratifikasi untuk memengaruhi tuntutan pidana → pelanggaran etika dan pidana.

3. Kasus Restorative Justice Ilegal

RJ diberikan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga atau penganiayaan berat, padahal tidak memenuhi syarat → pelanggaran etika profesional.


(Contoh spesifik tidak bisa disebutkan lengkap karena terkait privasi putusan dan etika profesi, tetapi pola kasusnya sudah dikonfirmasi Komisi Kejaksaan & Jamwas.)


Bagaimana Seharusnya Jaksa Mengambil Diskresi?

Pedoman etika internasional dan nasional mengharuskan jaksa:

1. Melakukan penilaian risiko dan dampak hukum

Tidak boleh hanya menilai unsur pidana, tapi juga dampak sosial, kepentingan korban, dan keamanan publik.

2. Menggunakan pendekatan 3 Keadilan

- Kepastian Hukum – apakah unsur terpenuhi?

- Keadilan – apakah layak dilanjutkan?

- Kemanfaatan – apakah bermanfaat bagi masyarakat?

3. Membuat Memorandum Pertimbangan

Isi minimal fakta, alasan RJ/SP3, analisis risiko, dan rekomendasi.

4. Melibatkan pengawasan internal

Tidak boleh memutuskan sendiri tanpa persetujuan atasan struktural (Kajari/Kajati).


Kesimpulan

Diskresi adalah alat penting bagi jaksa untuk memastikan hukum berjalan dengan manusiawi, efisien, dan adil.

Tetapi diskresi hanya bisa bekerja jika dijalankan dengan:

✔ integritas tinggi

✔ akuntabilitas

✔ bebas konflik kepentingan

✔ transparansi

✔ profesionalitas


Tanpa etika, diskresi bukan alat keadilan—tetapi alat penyimpangan.




Sumber Hukum

UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI

Keputusan Jaksa Agung No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa

Laporan Tahunan Komisi Kejaksaan




ORDER VIA CHAT

Produk : Standar Etika Jaksa dalam Mengambil Diskresi: Menjaga Keadilan di Tengah Kewenangan yang Luas

Harga :

https://www.indometro.org/2025/11/standar-etika-jaksa-dalam-mengambil.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi