Tindak Pidana Pemerasan Berkedok “Damai di Tempat”: Apa Boleh? Siapa yang Bersalah?
Fenomena “damai di tempat” itu udah kayak budaya tidak resmi di jalanan. Kadang terjadi saat kecelakaan kecil, senggolan motor, keributan, bahkan kasus pencurian ringan. Banyak yang mengira “asal dua belah pihak sepakat, ya udah”.
Padahal… nggak selalu begitu.
Ada situasi tertentu dimana “damai di tempat” justru berubah jadi pemerasan, pemaksaan, atau penyalahgunaan keadaan. Nah, di sinilah hukumnya mulai main peran.
Kapan “Damai di Tempat” Itu Boleh?
Boleh kalau:
- Perkaranya delik aduan (misalnya penghinaan, perzinaan, KDRT psikis tertentu).
- Kerugian ringan dan dua pihak rela tanpa paksaan.
- Tidak ada unsur ancaman, intimidasi, atau tuntutan uang tidak wajar.
Bukan tindak pidana yang harus diproses negara (misalnya narkotika, korupsi, penganiayaan berat, pencurian tertentu).
Intinya:
Kalau dua-duanya sepakat secara bebas → damai oke.
Kalau ada paksaan → ya selesai, berubah jadi pidana lain.
Kapan “Damai di Tempat” Jadi Pemerasan?
Kalau salah satu pihak memaksa, mengancam, atau mengintimidasi untuk meminta uang sebagai syarat “damai”, maka itu masuk pemerasan. Dasarnya?
Pasal 368 KUHP:
Barang siapa dengan ancaman kekerasan atau ancaman pencemaran memaksa seseorang memberikan barang/uang → pidana penjara sampai 9 tahun.
Contoh real:
“Kalau nggak bayar 2 juta sekarang, gue bawa lo ke polisi!”
“Ayo damai! Kalo nggak, video ini gue sebarin.”
“Bayar 1 juta! Kalau nggak, gue bilang lu yang salah.”
Ini bukan damai. Ini pemerasan. Titik.
Kalau Pelakunya Oknum Petugas?
Nah, beda cerita kalau yang melakukan pemerasan adalah aparat/petugas. Dasar hukumnya:
Pasal 12 e UU Tipikor (UU 31/1999 juncto UU 20/2001):
Pegawai negeri yang memeras atau menyalahgunakan jabatan untuk meminta uang → pidana 4–20 tahun.
Contoh:
- Minta uang di jalan supaya “nggak ditilang”.
- Minta uang agar laporan tidak diproses.
- Minta “uang rokok” supaya pelayanan lancar.
Ini bukan damai. Ini tindak pidana korupsi.
Ketika Korban “Terpaksa Membayar” — Itu Bisa Digugat Balik?
Bisa banget. Dasarnya:
- Pasal 1365 KUHPerdata → Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
- Pasal 368 KUHP → Laporan pidana pemerasan.
- Pasal 55 KUHP → Kalau ada lebih dari satu pelaku/yang membantu.
Kalau korban bayar karena takut, ancaman, atau tekanan → secara hukum pembayaran itu tidak sah.
Apa yang Harus Dilakukan Korban?
Kalau kamu merasa diperas:
1. Kumpulkan bukti: rekaman, chat, foto, saksi.
2. Catat kronologi.
3. Lapor ke polisi → Unit Reskrim.
4. Kalau pemerasnya oknum → Propam & Tipikor.
5. Bisa ajukan gugatan perdata kalau mau balik uang.
Kenapa Banyak yang Salah Paham?
Karena:
- Masyarakat mikir semua perkara bisa “diselesaikan sendiri”.
- Pelaku sengaja “menakut-nakuti” agar cepat dibayar.
- Kurangnya kesadaran soal apa yang boleh dan tidak dalam hukum pidana.
Makanya penting banget edukasi begini, beb — biar nggak ada lagi yang kecolongan cuma gara-gara takut.
Sumber
KUHP Pasal 368 tentang Pemerasan
KUHP Pasal 55 tentang Penyertaan
KUHPerdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 12 e)
Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM dalam Tugas Kepolisian (untuk kasus oknum)
Putusan MA terkait pemerasan (misal No. 1144 K/Pid/2018 – pemerasan dengan ancaman)
Diskusi