Tumpang Tindih Regulasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia masih menghadapi tantangan serius berupa tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak daerah merasa memiliki hak besar untuk mengelola SDA di wilayahnya. Namun, di sisi lain, pemerintah pusat tetap berpegang pada prinsip bahwa penguasaan SDA berada di tangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ketegangan ini menimbulkan konflik regulasi dan praktik di lapangan, terutama dalam hal perizinan tambang, kehutanan, dan tata ruang wilayah.
Landasan Hukum dan Regulasi yang Tumpang Tindih
Beberapa regulasi yang sering menjadi sumber tumpang tindih antara pusat dan daerah, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU ini menarik sebagian besar kewenangan pengelolaan SDA (terutama tambang, kehutanan, dan kelautan) dari daerah ke pemerintah pusat dan provinsi.
➤ Akibatnya, banyak kabupaten/kota kehilangan kewenangan perizinan yang sebelumnya mereka miliki.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
UU ini menegaskan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
➤ Namun, beberapa daerah masih mengeluarkan izin di tingkat lokal, sehingga muncul tumpang tindih dan potensi izin ganda.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (dan perubahannya dalam UU No. 6 Tahun 2023)
UU ini memperkenalkan penyederhanaan izin berbasis Online Single Submission (OSS), tapi di lapangan masih banyak peraturan turunan daerah yang belum selaras dengan kebijakan pusat.
Dampak Tumpang Tindih Regulasi
1. Ketidakpastian hukum bagi investor dan pelaku usaha
Banyak perusahaan yang bingung menentukan izin mana yang sah secara hukum.
2. Potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang
Pejabat daerah dan pusat bisa mengeluarkan izin berbeda untuk lokasi yang sama.
3. Kerusakan lingkungan dan konflik sosial
Karena lemahnya pengawasan akibat benturan kewenangan antarlevel pemerintahan.
4. Penurunan kepercayaan publik terhadap tata kelola SDA yang adil dan transparan.
Salah satu contoh yang cukup menonjol adalah konflik izin tambang di Kalimantan Timur, di mana pemerintah kabupaten dan kementerian terkait sama-sama mengeluarkan izin di area yang tumpang tindih. Akibatnya, terjadi sengketa hukum antar perusahaan dan tanggung jawab lingkungan yang tidak jelas ketika terjadi kerusakan alam. Kasus ini bahkan sampai pada tingkat Mahkamah Agung untuk menentukan keabsahan izin yang sah.
Analisis dan Solusi
Masalah utama dari tumpang tindih ini adalah kurangnya sinkronisasi regulasi vertikal dan horizontal. Untuk memperbaikinya, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang jelas antara pusat dan daerah;
- Digitalisasi data perizinan SDA agar transparan dan terintegrasi nasional;
- Koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah secara berkala;
- Revisi peraturan turunan UU yang masih multitafsir terhadap pembagian kewenangan.
Jadi kesimpulannya, tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan SDA menunjukkan bahwa sinkronisasi kebijakan masih menjadi PR besar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Penguatan koordinasi, kejelasan pembagian kewenangan, dan komitmen transparansi merupakan kunci untuk mewujudkan pengelolaan SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sumber Resmi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo. UU No. 6 Tahun 2023
Diskusi