YURISPRUDENSI & JUDICIAL ACTIVISM: Ketika Hakim Mengisi Kekosongan Hukum
Di Indonesia, tidak semua persoalan hukum sudah diatur secara jelas dalam undang-undang. Kondisi ini melahirkan apa yang disebut kekosongan norma. Dalam situasi seperti ini, hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara (Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).
Artinya, hakim wajib mencari hukum, bahkan menemukan hukum baru, melalui:
- Penafsiran (interpretasi)
- Pengembangan hukum
- Pembentukan kaidah baru berbasis nilai keadilan, kepatutan, dan kebiasaan
Fenomena ini disebut judicial activism, dan produk akhirnya biasanya menjadi yurisprudensi.
2. Kenapa Judicial Activism Penting?
- Karena hukum tertulis tidak mungkin mengatur SEMUA kondisi.
- Karena dinamika sosial berkembang lebih cepat dibanding pembentukan UU.
- Karena hukum harus mengikuti prinsip keadilan, bukan sekadar bunyi pasal.
Hakim menjadi engine of development, penyeimbang antara teks hukum dan realitas sosial.
Contoh Yurisprudensi Penting di Indonesia (Judicial Activism)
A. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 — Pengakuan “Perbuatan Melawan Hukum Materiil”
Hakim memutus bahwa seseorang bisa dihukum meskipun tidak ada aturan tertulis yang dilanggar, selama tindakannya merugikan masyarakat, bertentangan dengan rasa keadilan dan bertentangan dengan kepatutan.
➡ Ini terobosan besar. Hakim memperluas makna perbuatan melawan hukum.
B. Putusan MA No. 46 PK/Pid/2006 — Percobaan Korupsi Tetap Bisa Dipidana
UU Tipikor tidak mengatur secara eksplisit soal “percobaan”.
Hakim menggunakan asas dalam KUHP + prinsip keadilan untuk menyatakan:
> Upaya melakukan korupsi (walau tidak selesai) tetap merupakan tindak pidana.
Ini yurisprudensi yang sangat penting, dan sepenuhnya hasil judicial activism.
C. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 — Status Anak Luar Kawin
MK memutus bahwa anak luar kawin berhak mendapatkan pengakuan hubungan perdata dengan ayah biologis, padahal KUHPer hanya mengakui hubungan dengan ibu.
➡ Ini contoh judicial activism paling kuat:
Hakim memperluas perlindungan hukum karena norma lama diskriminatif.
D. Putusan MA No. 1603 K/Sip/2005 — Ibu yang Memiliki Anak Kecil Mendapat Prioritas Hak Asuh
UU Perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang prioritas hak asuh.
Hakim membentuk kaidah baru:
> Anak yang masih kecil (onder de zeven jaar) lebih baik diasuh oleh ibu, kecuali ada alasan kuat sebaliknya.
Ini menjadi yurisprudensi tetap hingga hari ini.
4. Bagaimana Hakim Menemukan Hukum? (Metode Penemuan Hukum)
1. Interpretasi Gramatikal
Menafsirkan kata demi kata dalam pasal.
2. Interpretasi Sistematis
Menghubungkan pasal dengan aturan lain.
3. Interpretasi Teleologis
Mencari tujuan dari pembentukan UU.
4. Interpretasi Sosiologis
Menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
5. Rechvinding (penemuan hukum)
Hakim mencari kaidah hukum yang tidak tertulis.
6. Analog & Argumentum a contrario
Mengisi kekosongan dengan logika hukum.
5. Pro dan Kontra Judicial Activism
Kelebihan
✔ Mengisi kekosongan hukum
✔ Melindungi masyarakat dari ketidakpastian
✔ Memberi keadilan ketika hukum tertulis kaku
✔ Menyesuaikan hukum dengan perkembangan zaman
Kekurangan / Kritik
❌ Berpotensi melewati batas “pembuat undang-undang”
❌ Keputusan bisa subjektif
❌ Bisa menimbulkan inkonsistensi antar putusan
❌ Dapat dipandang “mengubah UU” tanpa mandat legislatif
6. Dasar Hukum Resmi
- Peraturan Perundang-Undangan
- Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat — tidak boleh menolak perkara karena hukum tidak lengkap)
- Pasal 20A UUD 1945 (fungsi pengawasan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman melalui MA/MK)
- UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA
(MA mengawasi konsistensi hukum & menetapkan yurisprudensi tetap)
Yurisprudensi Utama
1. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 — Perbuatan Melawan Hukum Materiil
2. Putusan MA No. 46 PK/Pid/2006 — Percobaan Korupsi
3. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 — Anak Luar Kawin
4. Putusan MA No. 1603 K/Sip/2005 — Hak Asuh Anak
5. Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 — Kedudukan yurisprudensi dalam sistem peradilan
Judicial activism adalah bukti bahwa hakim bukan “corong undang-undang”, tetapi penjaga keadilan. Lewat yurisprudensi, hakim mampu mengisi kekosongan hukum, melindungi hak warga negara dan menciptakan perkembangan hukum yang relevan dengan zaman.
Tanpa judicial activism, sistem hukum Indonesia akan kaku dan gagal merespons dinamika sosial.
Diskusi