Anatomi Kekuasaan Gelap di Balik Ruang Sidang Indonesia
Investigasi Mendalam: Ketika Hukum Menjadi Medan Pertarungan Elit
Ketika Keadilan Bukan Lagi Milik Publik
Di Indonesia, hukum tidak selalu kalah — tapi sering dipaksa tunduk.
Kasus-kasus besar yang menguap, terdakwa berpengaruh yang selalu dapat keringanan, hingga aktor korupsi kelas kakap yang tidak pernah menyentuh penjara bertahun-tahun, bukan sekadar fenomena teknis. Itu gejala dari hubungan kompleks antara oligarki, abuse of power, dan judicial lobbying. Inilah jaringan yang tidak terlihat tapi sangat nyata, yaitu hukum yang tidak dibeli dengan amplop, tapi dengan pengaruh.
Bagaimana Oligarki Masuk ke Sistem Peradilan
Oligarki tidak bekerja dengan cara vulgar.
- Tidak perlu datang ke sidang.
- Tidak perlu menaruh uang di meja.
Yang digunakan adalah:
1. Struktur Ekonomi
Grup bisnis besar memiliki pengaruh karena menguasai sektor energi, infrastruktur, pertanian, tambang, hingga perbankan. Ketergantungan negara pada mereka memberi posisi tawar yang kuat.
2. Akses ke Pembuat Kebijakan
Oligarki dapat mempengaruhi penyusunan undang-undang, perubahan aturan teknis, dan penempatan pejabat strategis. Jika kebijakan bisa diatur, perkara pun bisa “dipetakan”.
3. Koneksi Politik Multilapis
Mereka ada di partai politik, staf ahli, konsultan, dan orang kepercayaan pejabat. Akses ini mempermudah pesan tertentu sampai ke telinga penegak hukum.
Judicial Lobbying: Senjata Halus Oligarki
Jika oligarki adalah “mesin”, maka judicial lobbying adalah “tangan yang menggerakkannya”. Pengaruh dijalankan melalui 3 jalur:
1. Lobby via “Orang Ketiga”
Hakim tidak pernah bertemu klien atau pengusaha besar. Mereka hanya bertemu mantan pejabat, tokoh masyarakat, figur senior, akademisi berpengaruh, atau pimpinan lembaga tertentu.
Kalimatnya pendek, “Tolong dibantu, ini penting.”
Tidak ada uang. Tapi bobot kalimat itu besar.
2. Penempatan Hakim/ Jaksa yang Sudah “Familiar”
Tidak ekstrem seperti mafia film. Praktiknya lebih halus:
- Ada preferensi untuk menunjuk majelis tertentu.
- Ada “alasan administratif”.
- Ada rotasi yang kebetulan menguntungkan.
Semua tampak normal. Tapi keputusan sudah ditentukan dari penempatan SDM.
3. Tekanan Karier
Hakim atau jaksa yang terlalu keras pada aktor berkuasa bisa menghadapi mutasi cepat stagnasi jabatan, investigasi internal, atau tidak pernah naik kelas. Sebaliknya, yang “kooperatif” akan lebih cepat naik, lebih dekat dengan pimpinan, mendapat tugas prestisius.
Hukum berjalan sesuai “arah angin”.
Abuse of Power: Segitiga Kekuatan yang Menekan Penegak Hukum
Ketika pejabat publik menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan kelompok tertentu, ekosistemnya terbentuk:
1. Tekanan Vertikal
Dari atasan kepada bawahan:
- “Proses biasa saja dahulu.”
- “Putusan jangan terlalu berat.”
- “Ada kepentingan strategis.”
2. Tekanan Horizontal
Dari sesama pejabat, aparat, atau jaringan internal.
3. Tekanan Politik
Lewat isu keamanan, stabilitas, kepentingan negara, dan investasi strategis.
Semua ini menciptakan atmosfer yang membuat penegak hukum memilih aman.
Dampak Langsung: Hukum Menjadi Alat Kekuasaan
Ketika ketiga kekuatan ini bekerja bersama, terjadi perubahan besar:
1. Perkara “sensitif” diperlakukan berbeda
Bukti bisa lengkap, pelaku bisa jelas, tapi penanganannya lambat, tidak prioritas, dipisah berkas, dan ditunda-tunda.
2. Putusan berbeda tergantung siapa terdakwanya
Untuk rakyat biasa hukum bicara tegas. Untuk elite hukum bicara pelan.
3. Pengadilan menjadi ruang politik, bukan ruang keadilan
Publik melihat:
- yang punya akses—menang.
- yang tidak punya—binasa.
Analisis Hukum: Celah yang Dimanfaatkan
Karena tidak ada uang dan tidak ada janji, sangat sulit menjerat pelaku dengan UU Tipikor. Yang berlaku justru aturan etik, seperti:
- UU 48/2009 — Kekuasaan Kehakiman
- Pasal 3: hakim wajib bebas dari intervensi.
- KEPPH — Kode Etik Hakim
- Melarang hubungan dengan pihak yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
- UU ASN & Regulasi Jaksa
- Mengatur larangan penyalahgunaan wewenang.
Namun…
Hukum etik tidak memenjarakan. Sanksinya hanya administratif. Karena itu oligarki memilih jalur aman, bersih, dan tak terlacak.
Studi Pola
Berdasarkan publikasi ICW, MAKI, Ombudsman, dan laporan investigatif media:
- Kasus korupsi besar sering berujung hukuman ringan.
- Tersangka “kelas tinggi” sering dicabut statusnya.
- Pengadilan tingkat banding atau kasasi membatalkan putusan berat.
- Banyak kasus berhenti di tingkat penyidikan tanpa alasan jelas.
Pola ini konsisten selama lebih dari satu dekade.
Solusi Sistemik
1. Audit Transparansi Pertemuan Hakim & Jaksa
Setiap pertemuan harus dilaporkan.
2. Reformasi Penunjukan Majelis Hakim
Dari sistem manual menjadi sistem elektronik acak.
3. Pengaturan ‘Influence Peddling’ dalam UU Tipikor
Meniru negara Eropa, memperjualbelikan pengaruh → dikriminalisasi.
4. Penguatan KY & Komisi Kejaksaan
Dengan kewenangan real dan bisa mengeksekusi sanksi.
5. Pembukaaan data putusan & pola hukuman
Supaya publik bisa membaca pola “yang aneh”.
Kesimpulan: Ketika Hukum Dibisiki Kekuasaan
Korupsi yang paling sulit diberantas bukan korupsi uang. Tapi korupsi pengaruh. Jika negara membiarkan oligarki mengatur arah hukum, pejabat menyalahgunakan kewenangan, dan peradilan tidak mandiri, maka yang hilang bukan sekadar keadilan tetapi negara hukum itu sendiri.
Sumber Referensi
ICW – Laporan Mafia Peradilan
MAKI – Kajian Pengaruh Kekuasaan dalam Penegakan Hukum
Transparency International – Judicial Corruption Report
Ombudsman RI – Laporan Starategis
UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim)
UU Tipikor (UU 31/1999 jo. 20/2001)
Komisi Yudisial – Studi Independensi Hakim
Diskusi