Aparat Menghambat Eksekusi Putusan
Pelanggaran Hukum atau Pembiaran Sistemik oleh Negara?
Dalam negara hukum, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah perintah negara. Namun dalam praktik, banyak putusan justru mandek di tahap eksekusi karena aparat tidak bertindak, menunda, atau sengaja menghambat.
Pertanyaannya bukan lagi apakah eksekusi penting, melainkan ketika aparat menghambat eksekusi, apakah itu pelanggaran hukum individual—atau bagian dari pembiaran sistemik negara?
Eksekusi Putusan sebagai Kewajiban Negara
Eksekusi bukan urusan privat pemenang perkara. Secara yuridis eksekusi adalah tanggung jawab negara, dilaksanakan melalui aparatur negara, dan menjadi indikator nyata berfungsinya rule of law.
Tanpa eksekusi, putusan kehilangan makna dan kekuatan mengikatnya.
Bentuk-Bentuk Penghambatan Eksekusi
Di lapangan, penghambatan eksekusi muncul dalam pola berulang:
a. Penundaan Tanpa Alasan Sah
Aparat berdalih “situasi belum kondusif”, “menunggu koordinasi”, hingga “rawan konflik”. Penundaan berubah menjadi pembiaran permanen.
b. Netralitas Palsu Aparat
Aparat mengklaim netral, padahal membiarkan pihak kalah tetap menguasai objek, tidak memberi perlindungan kepada pemenang, bahkan menarik diri saat tekanan muncul. Netralitas ini bukan profesionalisme, melainkan pengingkaran kewajiban hukum.
c. Tunduk pada Tekanan Kekuasaan
Dalam banyak kasus strategis aparat lebih patuh pada kekuatan modal, takut pada pengaruh politik lokal, atau enggan melawan korporasi besar. Hukum dikalahkan oleh kekuasaan non-yuridis.
Dari Kelalaian ke Pelanggaran Hukum
Secara hukum, penghambatan eksekusi oleh aparat dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran kewajiban jabatan, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), bahkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Dalam perspektif hukum administrasi dan HAM, pembiaran ini bukan sikap pasif yang netral, melainkan tindakan melawan hukum secara struktural.
Perspektif Konstitusional dan HAM
Pembiaran eksekusi melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (kepastian hukum), prinsip equality before the law, hingga kewajiban positif negara untuk melindungi hak warga. Dalam hukum HAM internasional, kegagalan negara melaksanakan putusan pengadilan termasuk denial of justice.
Opini Keras: Aparat Bukan Sekadar Lalai
Jika penghambatan eksekusi terjadi sekali, mungkin itu kelalaian. Jika terjadi berulang, sistemik, dan selalu merugikan pihak lemah—itu bukan kebetulan. Ini adalah pola pembiaran, mekanisme perlindungan kepentingan tertentu, dan bukti bahwa negara membiarkan hukum dilumpuhkan dari dalam.
Aparat tidak lagi menjadi pelaksana hukum, tetapi penjaga status quo.
Dampak Sosial dan Hukum
Penghambatan eksekusi menyebabkan putusan pengadilan kehilangan wibawa, pemenang perkara kehilangan perlindungan, konflik sosial berkepanjangan, dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada hukum. Ketika aparat tidak mengeksekusi hukum, masyarakat belajar bahwa hukum bisa diabaikan.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Pertanggungjawaban tidak boleh berhenti pada individu:
- Aparat yang menghambat harus diperiksa dan disanksi
- Institusi harus dimintai pertanggungjawaban struktural
- Pengawasan internal dan eksternal diperkuat
- Eksekusi diposisikan sebagai hak konstitusional warga
Tanpa itu, pembiaran akan terus direproduksi.
Aparat yang menghambat eksekusi putusan bukan sekadar lalai—mereka mengkhianati perintah negara sendiri. Ketika negara membiarkan itu terjadi, maka yang runtuh bukan hanya satu perkara, tetapi fondasi negara hukum.
Negara hukum tidak mati karena tidak ada putusan, melainkan karena putusan dibiarkan tidak dijalankan.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
HIR/RBg tentang pelaksanaan putusan perdata
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kepastian hukum
Literatur hukum progresif dan hukum administrasi negara
Diskusi