Demokrasi Tanpa Perlindungan Hukum
Ketika Kebebasan Berpendapat Ada, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Aman
Demokrasi selalu dibanggakan sebagai ruang kebebasan: bebas berbicara, berpendapat, dan mengkritik kekuasaan. Namun dalam praktiknya, kebebasan itu sering berumur pendek. Banyak warga yang bersuara justru berhadapan dengan laporan pidana, intimidasi, hingga kriminalisasi.
Di titik ini, demokrasi memang ada secara prosedural, tetapi perlindungan hukumnya rapuh. Pertanyaannya: apa arti demokrasi jika warganya takut berbicara?
Demokrasi Tidak Cukup Hanya dengan Pemilu
Demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, pergantian kekuasaan, atau kebebasan formal di atas kertas. Demokrasi yang sehat mensyaratkan kebebasan berekspresi, perlindungan hukum bagi pengkritik, dan jaminan bahwa hukum tidak dipakai untuk membungkam.
Tanpa perlindungan hukum, demokrasi berubah menjadi ritual tanpa substansi.
Pasal Karet dan Ancaman Pidana
Salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi adalah penggunaan pasal-pasal yang multitafsir, seperti pasal pencemaran nama baik, pasal ujaran kebencian yang diterapkan secara selektif, pasal ketertiban umum, hingga regulasi digital yang rawan disalahgunakan.
Pasal-pasal ini sering dijadikan alat untuk: melaporkan kritik, membungkam aktivis, menekan jurnalis dan warga biasa.
Akibatnya, hukum yang seharusnya melindungi justru menjadi alat represi.
Efek Ketakutan dalam Demokrasi
Kriminalisasi kebebasan berpendapat menimbulkan efek berbahaya warga memilih diam, kritik melemah, pengawasan publik menurun, dan penyalahgunaan kekuasaan makin sulit dikontrol.
Demokrasi tanpa kritik bukan stabil—melainkan rapuh.
Aparat dan Netralitas yang Dipertanyakan
Dalam banyak kasus, penegakan hukum terlihat cepat terhadap laporan pihak berkuasa, lambat atau abai terhadap laporan warga. Ketimpangan ini menciptakan persepsi bahwa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika aparat tidak netral, maka demokrasi kehilangan salah satu pilar utamanya: keadilan.
Perspektif Konstitusi dan HAM
Secara hukum, kebebasan berpendapat dijamin kuat:
- UUD 1945 Pasal 28E ayat (3)→ Menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
- UUD 1945 Pasal 28F→ Menjamin hak memperoleh dan menyampaikan informasi.
- Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR)→ Menegaskan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
Artinya, pembatasan kebebasan harus sah, proporsional, dan tidak digunakan untuk melindungi kepentingan kekuasaan.
Demokrasi yang Rentan Disalahgunakan
Tanpa perlindungan hukum yang kuat, demokrasi mudah dibajak hukum dipakai sebagai tameng elite, kritik diperlakukan sebagai ancaman, aparat dijadikan alat kekuasaan.
Di sinilah demokrasi berubah dari sistem partisipatif menjadi demokrasi semu.
Apa yang Harus Diperbaiki?
Beberapa langkah mendesak:
- Pembatasan tegas penggunaan pasal multitafsir
- Perlindungan hukum bagi pengkritik dan pembela HAM
- Penegakan hukum yang netral dan akuntabel
- Pendidikan aparat tentang HAM dan demokrasi
- Penguatan mekanisme pengawasan publik
Tanpa itu, demokrasi hanya akan bertahan di slogan.
Demokrasi bukan hanya soal boleh berbicara, tetapi aman saat berbicara. Jika hukum gagal melindungi warga yang kritis, maka demokrasi kehilangan maknanya.
Karena demokrasi sejati tidak takut pada kritik—yang takut pada kritik adalah kekuasaan tanpa kontrol.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait kebebasan berekspresi
Diskusi