Hukum sebagai Kekerasan yang Legal
Ketika Negara Tidak Lagi Menegakkan Keadilan, Tapi Mengelola Ketakutan
Kita sering diajari bahwa hukum adalah pelindung. Namun bagi banyak warga, hukum justru hadir sebagai ancaman: memenjarakan, membungkam, dan melelahkan. Bukan karena mereka bersalah, tetapi karena mereka tidak berdaya.
Di titik ini, hukum berhenti menjadi instrumen keadilan. Ia berubah menjadi kekerasan yang dilegalkan oleh negara—tertib, prosedural, dan sah di atas kertas.
Kekerasan Tidak Selalu Memukul
Kekerasan hukum tidak selalu berbentuk pukulan atau senjata. Ia hadir dalam bentuk pasal karet, proses panjang yang menguras tenaga, penahanan yang “sesuai prosedur”, hingga kriminalisasi berbasis laporan. Semua sah. Semua legal. Namun dampaknya nyata: takut, tunduk, dan diam.
Pola Investigatif: Siapa yang Menjadi Korban
Jika ditelusuri, hukum paling keras menghantam warga miskin, buruh dan petani, aktivis dan pembela lingkungan, korban yang berani melapor, dan pihak lemah dalam sengketa dengan modal besar. Sebaliknya, hukum menjadi lunak saat berhadapan dengan kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan stabilitas politik.
Ini bukan bias insidental—ini arsitektur kekuasaan.
Prosedur sebagai Senjata
Prosedur hukum yang seharusnya melindungi justru dipakai untuk menunda keadilan, melelahkan korban, memaksa damai, dan mengulur tanggung jawab. Di sinilah kekerasan bekerja paling efektif, tidak melanggar hukum, tapi menghancurkan secara perlahan.
Perspektif Hukum & HAM
Dalam teori negara hukum hukum harus melindungi martabat manusia penegakan hukum harus proporsional, bahkan negara wajib mencegah penderitaan yang tidak perlu. Namun ketika hukum digunakan untuk menakut-nakuti, membungkam, dan menghukum tanpa pemulihan, itu memenuhi kriteria state violence through legal means
Dalam hukum HAM internasional, praktik ini beririsan dengan:
- denial of justice
- abuse of power
- pelanggaran kewajiban positif negara
Opini Keras: Negara Mengelola Ketakutan
Negara tidak selalu butuh represi terbuka. Cukup biarkan laporan korban mandek, proses pelaku yang lemah dengan cepat, dan buat hukum terasa mahal dan menakutkan. Maka rakyat akan belajar satu hal penting, diam lebih aman daripada menuntut keadilan. Di sinilah hukum berubah fungsi—dari pelindung menjadi alat kontrol sosial.
Dampak yang Tidak Pernah Diakui
Hukum sebagai kekerasan legal melahirkan masyarakat yang apatis, korban yang memilih menyerah, normalisasi ketidakadilan, dan demokrasi yang kosong makna. Negara terlihat stabil tapi stabilitas itu dibangun di atas ketakutan dan kelelahan rakyat.
Membongkar Ilusi “Negara Hukum”
Negara hukum bukan soal banyaknya undang-undang atau putusan. Negara hukum diukur dari: siapa yang dilindungi, siapa yang ditakuti, dan siapa yang selalu dikorbankan. Jika hukum lebih ditakuti daripada dipercaya, maka yang berdiri bukan negara hukum—melainkan negara ketertiban tanpa keadilan.
Hukum yang melindungi hanya segelintir orang bukan keadilan. Hukum yang menakutkan rakyat bukan wibawa. Dan negara yang membiarkan semua ini bukan gagal—ia sedang menjalankan fungsinya dengan sangat efektif. Pertanyaannya bukan lagi apakah hukum adil, tetapi apakah kita berani menyebut kekerasan ini dengan nama aslinya.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Prinsip Rule of Law dan Access to Justice
Literatur hukum kritis & hukum progresif (Satjipto Rahardjo)
Diskusi