Hukum Warisan: Mengapa Keluarga Bisa Saling Pidanakan?
Dari Sengketa Harta ke Jeruji Penjara
Warisan seharusnya menjadi pengikat silaturahmi keluarga. Namun dalam praktiknya, pembagian harta peninggalan justru sering memicu konflik panjang—bahkan berujung laporan pidana antar saudara. Mulai dari tuduhan penggelapan, pemalsuan dokumen, penyerobotan tanah, hingga penipuan.
Pertanyaannya: mengapa perkara warisan yang bersifat perdata bisa berubah menjadi pidana?
Sengketa Warisan: Masalah Perdata yang Sering Dipaksakan ke Pidana
Secara prinsip, sengketa warisan adalah ranah hukum perdata. Namun konflik keluarga kerap melebar karena pembagian tidak transparan, penguasaan sepihak atas harta warisan, tidak adanya kesepakatan ahli waris, emosi, dendam lama, dan relasi kuasa dalam keluarga.
Ketika jalur musyawarah gagal, hukum pidana sering dijadikan alat tekan.
Pasal Pidana yang Paling Sering Dipakai
Dalam konflik warisan, pasal-pasal berikut kerap digunakan:
- Pasal 372 KUHP (Penggelapan)
- Pasal 378 KUHP (Penipuan)
- Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Surat)
- Pasal 385 KUHP (Penyerobotan Tanah)
Masalahnya, tidak semua perbuatan dalam sengketa warisan memenuhi unsur pidana. Banyak kasus seharusnya diselesaikan secara perdata, tetapi dipaksakan masuk ranah kriminal.
Kriminalisasi dalam Sengketa Warisan
Kriminalisasi terjadi ketika laporan pidana digunakan untuk menekan ahli waris lain, pidana dijadikan jalan pintas agar “menang cepat”, aparat kurang cermat membedakan perdata dan pidana. Akibatnya, anggota keluarga yang seharusnya berstatus pihak bersengketa justru berubah menjadi tersangka.
Faktor Pemicu Konflik Warisan
Beberapa faktor yang sering memperparah sengketa:
- Tidak adanya wasiat yang jelas
- Ketidaktahuan hukum ahli waris
- Perbedaan sistem hukum waris (adat, Islam, BW)
- Penguasaan aset oleh satu pihak sejak lama
- Ketimpangan ekonomi antar anggota keluarga
Warisan bukan sekadar soal harta, tapi juga soal rasa keadilan.
Perspektif Hukum: Perdata vs Pidana
Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya menegaskan sengketa hak kepemilikan pada dasarnya adalah perdata, pidana hanya dapat diterapkan jika ada niat jahat (mens rea) dan unsur pidana yang jelas.
Jika tidak, pemidanaan justru melanggar asas ultimum remedium, yaitu pidana sebagai upaya terakhir.
Dampak Sosial dan Psikologis
Konflik warisan yang dipidanakan berdampak serius pada rusaknya hubungan keluarga secara permanen, trauma psikologis, biaya hukum tinggi, stigma sosial, hingga harta habis untuk perkara.
Menang di pengadilan, tapi kehilangan keluarga.
Jalan Keluar: Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Beberapa langkah yang lebih bijak, yaitu:
- Utamakan musyawarah keluarga
- Gunakan mediasi atau peradilan perdata
- Pisahkan emosi dari hak hukum
- Pahami sistem hukum waris yang berlaku
- Hindari laporan pidana sebagai alat balas dendam
Hukum seharusnya menjadi sarana penyelesaian, bukan pemecah keluarga.
Warisan tidak pernah sekadar soal siapa dapat apa. Ia adalah ujian keadilan, kedewasaan, dan kemanusiaan.
Ketika hukum pidana dipakai dalam konflik keluarga, yang hancur bukan hanya hubungan darah—tetapi juga makna keadilan itu sendiri.
Sumber
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang sengketa warisan
Diskusi