Hukuman Mati di Indonesia
Antara Dendam Negara, Rasa Keadilan Korban, dan Hak Hidup yang Terancam
Hukuman mati selalu jadi topik yang memecah masyarakat ke dalam dua kubu ekstrem:
- satu pihak berteriak “pelaku kejahatan berat pantas mati”,
- pihak lain menjawab “negara tidak boleh merampas hak hidup manusia”.
Di tengah emosi publik yang memuncak akibat kasus pembunuhan sadis, narkotika, dan terorisme, satu pertanyaan mendasar sering terlupakan:
> Apakah negara berhak menjadi algojo atas nama keadilan?
Hukuman Mati Masih Legal di Indonesia
Secara hukum, hukuman mati masih sah dan diakui dalam sistem hukum Indonesia, terutama melalui:
- KUHP
- Undang-Undang Narkotika
- Undang-Undang Terorisme
Hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan yang dianggap luar biasa (extraordinary crime), seperti:
- Pembunuhan berencana yang sangat sadis
- Peredaran narkotika skala besar
- Terorisme
Namun masalahnya bukan hanya soal legal atau ilegal, melainkan soal: 👉 apakah hukuman mati benar-benar adil, efektif, dan manusiawi?
Argumen Klasik Pendukung Hukuman Mati
Pihak pro biasanya berdiri di atas 3 alasan utama:
1. Efek jera (deterrent effect)
2. Balas setimpal terhadap kejahatan kejam
3. Perlindungan masyarakat dari residivis
Logika sederhananya:
> “Kalau pelaku dibunuh oleh negara, maka tidak akan mengulangi.”
Tapi pertanyaannya:
benarkah kejahatan berat turun karena hukuman mati?
Atau justru kejahatan terjadi karena masalah ekonomi, pendidikan, mental, dan sistem sosial yang rusak?
Argumen Keras Penentang Hukuman Mati
Kelompok kontra mengingatkan satu prinsip yang tak bisa ditawar:
> Negara tidak boleh membunuh, bahkan kepada pembunuh sekalipun.
Beberapa alasan utamanya:
1. Hak hidup dijamin konstitusi
Oleh UUD 1945 Pasal 28A: setiap orang berhak untuk hidup.
2. Risiko salah vonis tidak bisa diperbaiki
Jika orang yang dieksekusi ternyata tidak bersalah, tidak ada mekanisme “menghidupkan kembali” korban salah hukum.
3. Negara tidak boleh bertindak seperti pelaku kejahatan
Jika pembunuh dihukum mati karena membunuh, lalu apa beda negara dan pelaku?
4. Hukuman seumur hidup bisa lebih manusiawi dan tetap melindungi masyarakat
Dimensi Korban : Keluarga yang Menuntut Keadilan
Di sisi lain, keluarga korban sering berkata:
> “Nyawa dibayar nyawa.”
Dan itu manusiawi.
Rasa marah, sakit, dendam, dan kehilangan memang tidak bisa diadili dengan logika akademik semata. Tapi di sinilah negara diuji:
👉 Apakah hukum dibuat untuk membalas dendam, atau untuk menjaga peradaban?
Sikap Negara : di Antara Dua Api
Melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, hukuman mati:
- Masih dinyatakan konstitusional
- Tapi ditempatkan sebagai pidana khusus & alternatif
- Terpidana dijatuhi masa pembinaan sebelum eksekusi
Artinya, negara berada di posisi “abu-abu”:
tidak sepenuhnya menghapus, tapi juga tidak menjadikan hukuman mati sebagai pilihan utama.
Negara yang Menjaga Kehidupan Tak Seharusnya Belajar Membunuh
Jika negara membunuh demi menegakkan hukum, maka kita sedang mengajarkan satu hal berbahaya:
> Bahwa membunuh boleh, selama pelakunya memakai seragam kekuasaan.
Padahal hak hidup tidak boleh bergantung pada:
- Seberapa kejam seseorang
- Seberapa besar kebencian publik
- Seberapa viral suatu perkara
Negara harus lebih tinggi dari naluri balas dendam.
Karena ketika negara ikut membunuh, yang mati bukan hanya terpidana—tetapi juga prinsip kemanusiaan itu sendiri.
Hukuman mati mungkin tampak seperti keadilan instan.
Tapi keadilan sejati bukan tentang menghilangkan nyawa, melainkan tentang:
- Melindungi yang hidup
- Memutus siklus kekerasan
- Menegakkan hukum tanpa kehilangan nurani
> Jika hukum dibangun di atas darah, kita hanya sedang memindahkan kekerasan dari jalanan ke ruang sidang.
Sumber
KUHP
UUD 1945
Undang-Undang Narkotika
Undang-Undang Terorisme
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi hukuman mati
Diskusi