Keadilan Kelas dalam Peradilan Anak: Saat Status Sosial Menentukan Nasib di Meja Hijau
Hukum Anak Seharusnya Melindungi — Tapi Realitanya Tidak Selalu Begitu
UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dibuat untuk memastikan anak adalah korban keadaan, bukan kriminal dewasa. Namun di lapangan, ketimpangan kelas memengaruhi nasib anak yang berhadapan dengan hukum.
- Anak dari keluarga mampu → dapat pengacara, bantuan psikolog, mediasi privat, dan sering “dibina tanpa dipenjara”.
- Anak dari keluarga miskin → sering langsung ditahan, tidak dapat pendampingan, dan diproses dengan cepat.
Ini bukan sekadar dugaan — ini fenomena yang direkam oleh berbagai lembaga.
Ketidakadilan Dimulai dari Tahap Penangkapan
Anak miskin sering ditangkap bersama razia kawasan padat, tidak tahu hak untuk didampingi, tidak ada pendamping hukum dan ditekan untuk mengaku. Sementara anak dari kelas atas dipanggil baik-baik ke kantor polisi, keluarganya bisa negosiasi, punya pengacara sejak awal dan kasusnya sering diarahkan ke mediasi keluarga
Diskresi Aparat yang Berpihak Pada Kelas Atas
Padahal UU SPPA mengatur bahwa penahanan adalah jalan terakhir, restorative justice harus diutamakan dan juga pendampingan wajib. Namun kenyataannya restorative justice sering diberikan hanya untuk anak “berprivilege”, anak miskin lebih sering diproses formal, keluarga kelas atas lebih mampu membayar “ganti rugi” agar kasus tidak lanjut, bahkan aparat lebih berhati-hati jika pelaku adalah anak orang penting.
Contoh :
1. Kasus Anak-Anak Pencurian Ringan
Anak usia SMA di beberapa kota dipenjara karena mencuri sandal, HP rusak, atau barang kecil.
2. Kasus Anak Elite yang Dilibatkan dalam Bullying Berat
Beberapa kasus kekerasan sekolah elit: korban luka, pelaku tetap sekolah seperti biasa, kasus “diselesaikan internal”.
3. Kasus Tewasnya Anak dalam Tawuran yang Justru Dijadikan Alasan Kriminalisasi Anak Miskin
Penangkapan massal sering terjadi tanpa bukti kuat.
Dampaknya bisa jadi sangat fatal
- Trauma psikologis → anak ditahan bersama pelaku dewasa.
- Stigma sosial → sulit kembali bersekolah.
- Eksklusi sosial → memperbesar peluang kriminal ulang.
- Lingkaran kemiskinan → anak kehilangan masa depan.
Ketika kelas sosial menentukan masa depan anak, sistem peradilan kehilangan makna.
Solusi Sistemik
1. Pendampingan hukum gratis untuk semua anak bukan hanya bagi yang mampu bayar.
2. Audit total diskresi aparat dalam kasus anak termasuk alasan kenapa satu anak ditahan dan lainnya tidak.
3. Kewajiban restorative justice untuk semua kelas bukan hanya untuk yang mampu bayar perdamaian.
4. Peran sekolah wajib menghindari kriminalisasi sanksi edukatif lebih utama daripada sanksi pidana.
Sumber
UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Komnas HAM — Laporan Tahunan Perlindungan Anak
LBH Jakarta — Laporan Pendampingan Anak Berhadapan dengan Hukum
PUSPA HAM Anak — Data Kasus 2022–2024
Diskusi