Keadilan yang Harus Viral Dulu, Putusan yang Tak Pernah Datang
Ketika Hukum Baru Bekerja Setelah Publik Marah
Di negara hukum, keadilan seharusnya bekerja tanpa syarat. Namun realitas menunjukkan ironi pahit: banyak kasus baru ditangani serius setelah viral di media sosial. Sebelum itu, laporan diabaikan, putusan mandek, dan korban diminta bersabar.
Fenomena ini memperlihatkan krisis serius dalam sistem hukum :
keadilan prosedural ada, tetapi keadilan substantif menunggu sorotan publik.
Keadilan yang Menunggu Viral
Berkali-kali publik menyaksikan pola yang sama, seperti laporan tidak ditindaklanjuti, korban bolak-balik mengadu tanpa kejelasan, bahkan aparat pasif dan defensif. Namun begitu kasus viral, proses hukum mendadak cepat, pejabat muncul, konferensi pers digelar, janji keadilan diumbar.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah keadilan kini diukur dari jumlah likes dan shares?
Putusan Ada, Tapi Tidak Menyelesaikan
Masalah tidak berhenti pada proses. Bahkan ketika putusan sudah ada, eksekusi sering tertunda, hak korban tidak dipulihkan, dan konflik tetap berlangsung Putusan pengadilan seolah hanya berfungsi untuk meredam tekanan publik, untuk menutup kasus secara administratif, bukan untuk menyelesaikan ketidakadilan nyata.
Pola Investigatif: Dari Diam ke Respons Instan
Jika dicermati, respons hukum bergerak dalam dua fase:
- Fase Diamlaporan masuk → tidak ada perkembangan, korban diminta menunggu, pelaku tetap bebas.
- Fase Viralkasus ramai di media, aparat bereaksi cepat, hukum bergerak dengan kecepatan tak biasa.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa dorongan utama bukan keadilan, melainkan tekanan opini publik.
Perspektif Hukum: Pelanggaran Prinsip Kepastian dan Kesetaraan
Praktik ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (kepastian hukum yang adil), prinsip equality before the law, dan asas profesionalitas aparat penegak hukum. Dalam perspektif HAM, keadilan yang bergantung pada viralitas adalah bentuk diskriminasi tidak langsung, mereka yang tidak punya akses media akan selalu kalah.
Opini Keras: Negara Menyerahkan Keadilan pada Algoritma
Ketika hukum hanya bekerja setelah viral, negara secara tidak langsung menyerahkan fungsi keadilan pada media sosial, mengganti hukum dengan algoritma, bahkan membiarkan publik menjadi “jaksa darurat”. Ini berbahaya. Negara hukum tidak boleh tunduk pada trending topic.
Dampak Sosial yang Lebih Luas
Keadilan yang harus viral dulu melahirkan ketidakpercayaan publik, budaya main hakim sendiri, eksploitasi penderitaan korban demi atensi, dan normalisasi pembiaran aparat. Pada akhirnya, hukum tidak lagi dihormati—ia hanya ditunggu viralnya.
Apa yang Seharusnya Dibenahi
Beberapa langkah mendesak:
- Aparat wajib merespons laporan tanpa menunggu tekanan publik
- Eksekusi putusan harus dijamin negara
- Perlindungan korban diperkuat sejak awal proses
- Evaluasi dan sanksi bagi aparat yang pasif
- Transparansi penanganan perkara diperluas
- Keadilan tidak boleh bergantung pada keramaian.
Keadilan yang harus viral dulu bukan keadilan—itu tontonan. Putusan yang tidak dieksekusi bukan solusi—itu ilusi hukum. Jika hukum hanya bergerak setelah publik marah, maka yang sedang runtuh bukan satu kasus, melainkan martabat negara hukum itu sendiri.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang HAM
Diskusi