Kelalaian Notaris dan Tanggung Jawab Hukum
Antara Kesalahan Profesional, Abuse of Authority, dan Perlindungan Kepastian Hukum
Notaris merupakan pejabat umum yang menjalankan sebagian fungsi negara dalam bidang hukum perdata. Akta yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan menjadi fondasi bagi kepastian hukum dalam lalu lintas perdata.
Namun dalam praktik, muncul fenomena serius: akta bermasalah akibat kelalaian notaris, yang berujung pada sengketa perdata, kerugian finansial, bahkan kriminalisasi para pihak. Di titik ini, kelalaian notaris tidak lagi dapat dipandang sebagai kesalahan administratif semata, melainkan persoalan tanggung jawab hukum dan etika kekuasaan jabatan.
Konsep Kelalaian dalam Perspektif Hukum Kenotariatan
Secara yuridis, kelalaian (negligence) merujuk pada tidak dipenuhinya standar kehati-hatian yang secara objektif diwajibkan oleh hukum dan profesi. Dalam konteks notaris, standar tersebut bersumber dari UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
Kode Etik Notaris
Prinsip kehati-hatian (prudence principle)
Kelalaian notaris terjadi ketika notaris tidak melakukan verifikasi identitas secara memadai, tidak memastikan kehendak bebas para pihak, tidak menjelaskan akibat hukum akta, atau mengabaikan kewajiban formil yang ditentukan undang-undang.
Kelalaian Notaris sebagai Cacat Akta
Secara akademik, kelalaian notaris dapat menyebabkan cacat formil, jika prosedur pembuatan akta dilanggar juga cacat materiil, jika isi akta tidak mencerminkan fakta hukum sebenarnya Akibatnya, akta kehilangan kekuatan sebagai akta otentik, turun derajat menjadi akta di bawah tangan, atau bahkan batal demi hukum.
Ini menunjukkan bahwa kelalaian notaris bukan kesalahan ringan, melainkan dapat menggugurkan legitimasi hukum suatu perbuatan perdata.
Tanggung Jawab Perdata: PMH oleh Notaris
Dalam banyak putusan pengadilan, notaris dinyatakan dapat dimintai tanggung jawab berdasarkan: Pasal 1365 KUH Perdata (Perbuatan Melawan Hukum).
Unsur-unsurnya antara lain, adanya perbuatan (kelalaian), melawan hukum (melanggar UUJN/kode etik), adanya kerugian dan hubungan kausalitas. Secara doktrinal, notaris tidak dapat berlindung di balik status pejabat umum ketika terbukti lalai dan merugikan pihak lain.
Kasus Nyata: Notaris Digugat dan Dikalahkan
Dalam beberapa perkara perdata di Indonesia, pengadilan menyatakan notaris lalai karena tidak memeriksa keabsahan dokumen, menghukum notaris membayar ganti rugi, dan menyatakan akta kehilangan kekuatan hukum. Mahkamah Agung dalam berbagai putusan menegaskan bahwa:
Notaris bertanggung jawab atas aspek formil dan kehati-hatian, bukan sekadar mencatat kehendak para pihak.
Ini membantah anggapan keliru bahwa notaris hanya “tukang ketik akta”.
Dimensi Pidana: Batas Tipis antara Lalai dan Sengaja
Secara teoritis, kelalaian murni tidak serta-merta dipidana. Namun notaris dapat dipidana jika dengan sadar memasukkan keterangan tidak benar, membuat akta fiktif, atau bersekongkol dengan salah satu pihak. Contoh kasus menunjukkan adanya notaris yang diproses pidana karena memalsukan tanda tangan, membuat akta tanpa kehadiran para pihak, atau menjadi bagian dari skema penipuan.
Di titik ini, notaris tidak lagi diposisikan sebagai profesi, melainkan sebagai subjek hukum pidana biasa.
Sanksi Administratif dan Etika: Lemah dalam Praktik
Secara normatif, Majelis Pengawas Notaris memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi. Namun secara sosiologis, pengawasan sering bersifat reaktif, sanksi administratif kerap ringan, dan tidak memberikan efek jera. Akibatnya, terjadi krisis akuntabilitas dalam profesi notaris.
Opini Kritis: Notaris dan Abuse of Power
Notaris memegang kekuasaan simbolik negara. Ketika kelalaian dibiarkan tanpa konsekuensi tegas, maka yang dapat terjadi akta berubah menjadi alat legitimasi ketidakadilan, pihak lemah menanggung risiko hukum, dan bahkan kepercayaan publik pun juga bisa runtuh seketika.
Maka, menuntut pertanggungjawaban notaris bukan kriminalisasi profesi, melainkan mekanisme kontrol terhadap penggunaan kewenangan negara.
Dalam negara hukum, tidak ada kewenangan tanpa tanggung jawab. Notaris yang lalai harus dimintai pertanggungjawaban secara proporsional, transparan, dan tegas. Jika tidak, hukum akan kehilangan wibawanya—dan akta otentik berubah menjadi sekadar formalitas tanpa keadilan.
Sumber
UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
KUH Perdata (Pasal 1365)
Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia
Putusan Mahkamah Agung terkait tanggung jawab notaris
Diskusi