Ketika Negara Bekerja untuk Elite, Bukan untuk Rakyat

Negara yang Berpihak Tapi Bukan ke Rakyat


Dalam beberapa tahun terakhir, dua gejala sosial-politik muncul bersamaan dan saling menguatkan :

1. Militerisasi konflik sipil — ketika kehadiran aparat bersenjata masuk ke ranah yang seharusnya menjadi ruang sipil seperti konflik agraria, unjuk rasa, atau penolakan investasi.

2. State capture — ketika kebijakan negara tak lagi disusun berdasarkan kepentingan publik, tetapi mengikuti kepentingan korporasi besar dan elite politik-ekonomi.

Kedua fenomena ini tidak berdiri sendiri. Keduanya seperti dua sisi dari koin kekuasaan, yang pada akhirnya mengarah pada satu kesimpulan pahit yakni negara tampak semakin defensif terhadap rakyat, tetapi protektif terhadap kepentingan elite.


Ketika Aparat Bersenjata Menangani Urusan Sipil

Akar Konflik: Tanah, Investasi, dan Kekuasaan

Mayoritas konflik yang berujung pengerahan aparat bersenjata berakar pada:

  • Konflik lahan dengan perusahaan tambang, sawit, energi, atau proyek strategis.
  • Penolakan warga terhadap eksploitasi sumber daya alam.
  • Pembangunan proyek negara yang dianggap melanggar hak atas tanah.

Padahal menurut UU No. 2 Tahun 2002, urusan ketertiban sipil sepenuhnya berada di tangan Polri, bukan aparat militer. Namun, celah hukum bernama Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam UU TNI No. 34/2004 membuka ruang penafsiran yang sangat luas. Di lapangan, warga yang mempertahankan tanah atau airnya tiba-tiba berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap, kendaraan taktis, hingga pengamanan bersifat “permanen”.

Berikut adalah efek yang ditimbulkan dari Domino Militerisasi, yaitu :

  1. Konflik makin panas.
  2. Warga takut menyampaikan keluhan.
  3. Aktivis ditangkap atau dikriminalisasi.
  4. Ruang demokrasi menyempit drastis.

Yang lebih rawan: kehadiran aparat bersenjata ini sering terjadi di wilayah yang punya investasi besar. Di titik inilah hubungan dengan state capture mulai terlihat jelas.


State Capture — Ketika Kebijakan Tunduk pada Modal

Dari Lobi ke Regulasi, State capture bukan sekadar suap atau korupsi kecil. Ini adalah proses sistemik ketika:

  • Korporasi besar bisa menentukan isi undang-undang.
  • Kebijakan publik disusun agar menguntungkan kelompok tertentu.
  • Institusi hukum dilemahkan supaya tidak bisa menggugat kekuasaan.
  • Aparat digunakan untuk menjaga kelangsungan investasi.

World Bank mendefinisikan state capture sebagai penguasaan proses pembuatan keputusan negara oleh aktor non-negara demi kepentingan sempit.”

Jika kebijakan bisa dibeli, maka hukum berhenti menjadi alat keadilan dan berubah menjadi instrumen bisnis. 


Ketika Regulasi Mengamankan Bukan Rakyat, Tapi Investasi. 

Beberapa pola yang sering ditemukan:

  • Regulasi tata ruang meluas untuk mengakomodasi izin tambang.
  • Proyek-proyek besar disahkan tanpa analisis dampak sosial yang transparan.
  • Institusi pengawas lingkungan dilemahkan atau dipangkas anggarannya.
  • Penegakan hukum terhadap korporasi besar “menghilang”.

Sebaliknya, warga yang menolak malah dituduh merusak, menghambat pembangunan, atau diberi label provokator.


Titik Temu — Ketika Militerisasi Menjadi Alat State Capture

Inilah bagian paling sensitif, fenomena militerisasi konflik sipil bukan kebetulan. Ia menjadi instrumen operasional dari state capture.

Korporasi besar → mempengaruhi kebijakan → kebijakan membuka akses lahan → warga menolak → aparat diturunkan untuk “mengamankan situasi.”

Rakyat yang seharusnya dilindungi malah menjadi hambatan dalam skema ekonomi elite. Pola lengkapnya terlihat seperti ini:

  1. Kepentingan ekonomi muncul (proyek, tambang, perkebunan, energi).
  2. Lobi politik berjalan, regulasi disesuaikan.
  3. Izin keluar cepat, tanpa konsultasi publik memadai.
  4. Warga protes → aparat bersenjata hadir.
  5. Kriminalisasi terhadap tokoh penolak proyek.
  6. Proyek jalan terus, warga kalah secara politik & hukum.

Ini bukan teori konspirasi. Ini adalah struktur kekuasaan modern dalam negara yang ekonominya didorong investasi besar.


Dampak untuk Demokrasi & HAM

Berikut adalah beberapa dampak untuk demokrasi dan HAM, antara lain :

  1. Kepercayaan publik ke hukum runtuh.
  2. Institusi negara kehilangan legitimasi moral.
  3. Warga takut bersuara.
  4. Pembangunan jadi berbau paksaan.
  5. Negara makin otoriter secara struktur, bukan retorika.

Ketika aparat digunakan untuk kepentingan ekonomi, dan kebijakan dibuat bukan untuk publik, maka demokrasi tinggal bungkus—isinya adalah pasar kekuasaan.


Jalan Keluar (yang Sayangnya Tidak Mudah)

Ada beberapa jalan keluar yang sayang tidak mudah untuk dilakukan, seperti :

  • Reformasi OMSP & membatasi peran militer dalam urusan sipil.
  • Transparansi donasi politik & pembiayaan kampanye.
  • Memperkuat lembaga pengawas (KPK, Ombudsman, Komnas HAM).
  • Perlindungan aktivis dan pembela lingkungan.
  • Audit regulasi yang diduga sarat kepentingan.
  • Partisipasi publik wajib dalam penyusunan kebijakan.

Selama oligarki ekonomi-politik masih menguasai perumusan kebijakan, militerisasi konflik sipil akan terus terjadi.




Sumber 

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI & OMSP

Laporan KontraS – “Kekerasan Aparat dalam Konflik Sipil”

ELSAM – “Militarisasi dan Penyempitan Ruang Sipil”

Transparency International – “State Capture and Policy Manipulation”

OECD – Integrity and Policy Capture Framework

WALHI – Konflik Agraria Tahunan


ORDER VIA CHAT

Produk : Ketika Negara Bekerja untuk Elite, Bukan untuk Rakyat

Harga :

https://www.indometro.org/2025/12/ketika-negara-bekerja-untuk-elite-bukan.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi