Ketika Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Apa-apa
Hukum Menang di Kertas, Keadilan Kalah di Kenyataan
Putusan pengadilan sering dipandang sebagai puncak keadilan. Ketika palu diketuk, perkara dianggap selesai. Namun dalam praktik, banyak putusan justru tidak mengakhiri konflik, tidak memulihkan korban, dan tidak memperbaiki kerusakan sosial yang terjadi.
Fenomena ini menunjukkan persoalan serius: keadilan prosedural berjalan, tetapi keadilan substantif tertinggal jauh. Hukum bekerja, namun rasa adil tidak pernah sampai ke masyarakat.
Putusan Ada, Masalah Tetap Hidup
Secara normatif, putusan pengadilan bersifat final dan mengikat. Namun secara sosiologis, banyak putusan yang sulit dieksekusi, diabaikan oleh pihak berkuasa, tidak menyentuh akar masalah, atau bahkan hanya menguntungkan satu pihak.
Akibatnya, konflik hukum berubah menjadi konflik sosial berkepanjangan.
Pola Investigatif: Mengapa Putusan Gagal Menyelesaikan Masalah
Dari berbagai perkara publik, tampak pola berulang seperti :
a. Putusan Menang, Eksekusi Mandek
Pihak yang menang di pengadilan tidak mendapat haknya, harus menempuh proses eksekusi bertahun-tahun, bahkan menghadapi kriminalisasi lanjutan. Putusan menjadi simbol kemenangan semu.
b. Putusan Formalistik
Banyak putusan yang terlalu terpaku pada prosedur, mengabaikan konteks ketimpangan sosial, tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang. Hukum hadir sebagai teks, bukan sebagai solusi.
c. Negara Lepas Tangan Setelah Vonis
Setelah putusan dibacakan, negara sering tidak memastikan pelaksanaan, tidak melindungi pihak lemah, dan bahkan membiarkan konflik berulang.
Negara berhenti bekerja tepat saat keadilan seharusnya dimulai.
Contoh Pola Kasus Nyata
Dalam berbagai sengketa konflik agraria, sengketa perburuhan, perkara lingkungan, dan kasus korban kriminalisasi, putusan pengadilan sering tidak mengembalikan hak korban, tidak memulihkan lingkungan, dan tidak menghentikan kekerasan struktural.
Putusan selesai, tetapi penderitaan berlanjut.
Perspektif Hukum: Keadilan Prosedural vs Substantif
Secara teori keadilan prosedural menekankan proses yang sah sementara keadilan substantif menekankan hasil yang adil. Masalah muncul ketika peradilan berhenti pada prosedur, tanpa memastikan pemulihan hak, pencegahan pelanggaran ulang, dan keseimbangan kekuasaan. Putusan sah secara hukum, tapi gagal secara moral dan sosial.
Opini Keras: Pengadilan Bukan Akhir, Tapi Sering Dijadikan Alibi
Dalam praktik, putusan pengadilan kerap dijadikan alibi negara untuk tidak bertindak, tameng institusi untuk lepas tanggung jawab, hingga bukti semu bahwa “hukum sudah bekerja”. Padahal hukum sejati bukan soal siapa menang, melainkan siapa yang dipulihkan dan siapa yang dilindungi.
Dampak Sistemik
Ketika putusan tidak menyelesaikan masalah kepercayaan publik runtuh, masyarakat memilih jalan non-hukum, konflik horizontal meningkat, hingga hukum kehilangan wibawa. Ini bukan kegagalan satu hakim, tetapi kegagalan sistem peradilan.
Apa yang Seharusnya Diubah
Beberapa langkah mendesak:
- Putusan harus disertai mekanisme pemulihan nyata
- Negara wajib menjamin eksekusi efektif
- Hakim perlu mempertimbangkan dampak sosial
- Pengawasan pasca-putusan harus diperkuat
- Keadilan tidak berhenti di ruang sidang
Tanpa itu, pengadilan hanya menjadi pabrik putusan, bukan penjaga keadilan.
Putusan pengadilan seharusnya menyelesaikan masalah, bukan menutup berkas. Jika hukum hanya berhenti pada palu hakim, maka keadilan berhenti sebelum benar-benar dimulai.
Negara hukum bukan diukur dari banyaknya putusan, tetapi dari berapa banyak keadilan yang benar-benar sampai ke rakyat.
Sumber
UUD 1945 (Pasal 24 & 28D)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait keadilan substantif
Diskusi