Korban yang Dilupakan & Hukum yang Terlalu Mudah Memidanakan
Ketika Perlindungan Korban Lemah, Tapi Pasal Pidana Terus Bertambah
Dalam sistem hukum pidana, ada dua ironi besar yang berjalan bersamaan:
- di satu sisi korban kejahatan sering tidak terlindungi,
- di sisi lain hukum pidana digunakan berlebihan untuk hampir semua persoalan sosial.
Akibatnya, hukum tampak aktif, tapi keadilan justru pasif. Korban dibiarkan berjuang sendiri, sementara pasal-pasal pidana terus diproduksi dan digunakan tanpa sensitivitas sosial.
Perlindungan Korban: Ada di Undang-Undang, Hilang di Lapangan
Secara normatif, Indonesia sudah memiliki berbagai aturan yang menjanjikan perlindungan korban: hak atas pendampingan, hak atas pemulihan, hak atas restitusi dan kompensasi, dan hak untuk tidak disalahkan. Namun dalam praktik, korban sering mengalami dipersulit saat melapor, disarankan “damai” demi cepat selesai, tidak mendapat pendampingan hukum atau psikologis, bahkan dikriminalisasi balik.
Ironisnya, korban justru harus membuktikan penderitaannya sendiri di hadapan sistem yang seharusnya melindungi.
Overcriminalization: Terlalu Banyak Pasal, Terlalu Sedikit Keadilan
Overcriminalization adalah kondisi ketika terlalu banyak perbuatan dikriminalkan terlalu mudah seseorang dijadikan tersangka dan pidana menjadi solusi instan untuk semua masalah. Dampaknya:
- konflik sosial → pidana
- kritik → pidana
- ekspresi → pidana
- masalah administrasi → pidana
Alih-alih menyelesaikan akar masalah, hukum pidana justru memperluas penderitaan.
Ketika Korban dan Pelaku Sama-sama Terjebak Sistem
Masalahnya semakin kompleks ketika korban tidak dipulihkan, pelaku dikriminalkan tanpa rehabilitasi, dan konflik sosial tidak pernah benar-benar selesai. Dalam banyak kasus korban hanya dipakai sebagai “alat laporan”, sementara sistem sibuk mengejar angka penanganan perkara. Hukum pidana menjadi tujuan, bukan alat keadilan.
Pola Berbahaya yang Terjadi Berulang
Beberapa pola yang sering muncul:
- Korban disuruh damai tanpa pemulihan
- Laporan korban mengendap, laporan balik cepat diproses
- Pidana dipakai untuk menekan, bukan melindungi
- Restorative justice hanya untuk pihak kuat
- Korban miskin tidak punya akses pendampingan
Pola ini memperlihatkan bahwa sistem lebih nyaman menghukum daripada melindungi.
Perspektif Hukum: Di Mana yang Salah?
Masalahnya bukan ketiadaan aturan, tapi orientasi hukum yang terlalu represif, lemahnya perspektif korban, minimnya penggunaan hukum non-pidana, serta penegakan hukum yang selektif. Hukum pidana seharusnya jalan terakhir (ultimum remedium) bukan alat pertama dan utama.
Dampak Sosial yang Nyata
Jika dibiarkan, kondisi ini akan menurunkan kepercayaan publik terhadap hukum, membuat korban enggan melapor, memperparah kriminalisasi kelompok rentan dan menciptakan penjara yang penuh tapi keadilan kosong. Hukum terlihat sibuk, tetapi masyarakat tidak merasa aman.
Rekomendasi Perbaikan
Beberapa langkah penting yang harus didorong:
- Perkuat sistem perlindungan korban sejak pelaporan awal
- Batasi kriminalisasi berlebihan melalui evaluasi pasal pidana
- Utamakan pemulihan korban, bukan sekadar penghukuman
- Perluas akses pendampingan hukum dan psikologis
- Kembalikan pidana sebagai jalan terakhir, bukan solusi instan
Hukum yang baik bukan hukum yang paling banyak memenjarakan orang, melainkan hukum yang paling mampu melindungi mereka yang terluka. Selama korban masih sendirian dan pidana terus diperluas, maka yang bekerja bukan keadilan — melainkan mesin hukum tanpa empati.
Sumber
UUD 1945 (Pasal 28D & 28G)
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
KUHP & KUHAP
Laporan Tahunan Komnas HAM
LPSK RI – Perlindungan dan Pemulihan Korban
Diskusi