Legalized Violence: Ketika Kebijakan Menyulap Kekerasan Jadi “Keamanan”
Legalized Violence: Ketika Kebijakan Menyulap Kekerasan Jadi “Keamanan”
Apa itu “Legalized Violence”?
“Legalized violence” adalah kondisi ketika tindakan penggunaan kekerasan oleh aparat — yang seharusnya diatur ketat dan bersyarat — dibingkai, dilegalkan, atau dilonggarkan lewat kebijakan sehingga penggunaan kekerasan menjadi lebih mudah, meluas, dan kurang akuntabel. Nama resminya mungkin “operasi keamanan”, “penertiban”, atau “pengamanan investasi”, tetapi efeknya sama: warga sipil menghadapi kekerasan yang dibenarkan oleh aturan atau praktik administratif.
Ini berbeda dari pelanggaran kekerasan biasa: di sini ada legitimasi formal — kebijakan, peraturan, instruksi — yang memberi ruang bagi aparat untuk bertindak keras.
Bentuk-Bentuk Legalized Violence di Lapangan
- Penggusuran paksa atas nama penataan kota/proyek → pembongkaran paksa, pengusiran malam hari, penyiraman air, penggunaan senjata non-lethal yang berlebihan.
- Operasi “pengamanan” proyek investasi → kehadiran TNI/Polri untuk kawal perusahaan, intimidasi warga penolak, pembekuan perlawanan.
- Penerapan status darurat atau pembatasan kegiatan sipil → pembatasan berkumpul, penangkapan massal, larangan demonstrasi.
- Penerapan pasal pidana khusus dengan ancaman berat untuk mempidanakan lawan kebijakan (mis. penegasan ancaman hukum terhadap “provokasi”/“hasutan”).
- Operasi kontra-gangguan yang berujung pada kekerasan: razia, pemukulan, penahanan tanpa prosedur memadai.
Bagaimana Kebijakan “Membingkai” Kekerasan?
Beberapa mekanisme hukum/administratif yang sering dipakai:
A. Instrumen Regulasi yang Longgar
Peraturan pelaksana yang memberi wewenang luas pada aparat untuk “mengamankan” tanpa definisi yang jelas tentang proporsionalitas dan kebutuhan.
B. Deklarasi Kondisi Khusus yang Luas
Ruang interpretasi pada istilah “mengancam keamanan” atau “mengganggu ketertiban umum” yang mudah dipakai untuk membenarkan tindakan keras.
C. Penggunaan Istilah “Operasi Gabungan” / OMSP
Istilah operasional yang memberi justifikasi kehadiran militer di ranah sipil (celah antara UU TNI dan UU Polri).
D. Instruksi Non-Publik & SOP Internal
Surat perintah atau SOP yang tidak dipublikasikan sehingga sulit diaudit publik.
Landasan Hukum & Batasannya.
- UUD 1945 — Hak asasi (Pasal 28A, 28G, dll.) memastikan hak hidup, keamanan, dan kebebasan.
- UU No. 2/2002 tentang Polri — tugas Polri pada penegakan hukum & pemeliharaan ketertiban.
- UU No. 34/2004 tentang TNI — TNI untuk pertahanan; OMSP dibatasi tapi tafsir lapangan rentan meluas.
- KUHP & KUHAP — aturan pidana dan prosedur penyidikan (prinsip due process wajib dihormati).
- UU No. 39/1999 tentang HAM — kewajiban negara melindungi HAM.
- Peraturan Pemerintah / Perpu / Surat Edaran Internal — sering jadi sumber legitimasi praktik di lapangan.
Masalahnya: banyak instrumen ini memberikan wewenang tetapi tidak cukup batasan operasional (proporsionalitas, last resort, akuntabilitas, oversight publik).
Dampak HAM & Sosial
- Pelanggaran hak hidup, keamanan, kebebasan berkumpul.
- Trauma kolektif pada komunitas yang menjadi target.
- Kriminalisasi warga yang menolak kebijakan (aktivis, petani, nelayan, PKL).
- Eskalasi konflik — karena respon militer/polisi memicu resistensi.
- Erosi kepercayaan publik terhadap negara dan hukum.
- Normalisasi kekerasan, publik mulai mentolerir pelanggaran karena “untuk keamanan”.
Pola Praktik (Contoh Pola Berulang)
- Proposal proyek → izin keluar cepat tanpa konsultasi → warga protes → perusahaan minta “pengamanan” → operasi gabungan → penggunaan kekerasan diklaim “proposional” → warga ditangkap/dibungkam → proyek jalan.
- Penetapan daerah “rawan gangguan” → kendaraan taktis berpatroli → pembubaran paksa acara warga → penahanan sewenang → tuduhan provokasi/danarusak.
Pola ini muncul berulang dalam laporan lembaga HAM, LSM lingkungan, dan data pengaduan publik.
Mengapa Legalized Violence Menyebar?
- Prioritas investasi & “kondusivitas” ekonomi di atas hak sipil.
- Politik kepentingan jangka pendek (target pembangunan, pencapaian proyek).
- Lemahnya pengawasan sipil (DPR/Komnas HAM/Ombudsman sering bereaksi setelah kejadian, bukan preventif).
- Budaya keamanan yang militaristik di birokrasi.
- Ketiadaan sanksi nyata bagi aparat yang melanggar SOP — atau sanksi administratif yang ringan.
Analisis Hukum: Celah & Rekomendasi Teknis
Celah utama: definisi dan mekanisme pengawasan yang lemah — terutama soal: siapa yang menetapkan “kondisi darurat”, bagaimana mengukur proporsionalitas, dan bagaimana mekanisme akuntabilitas kerja.
Rekomendasi Hukum (konkret)
1. Perjelas dan batasi definisi OMSP & peran TNI dalam ranah sipil — tegaskan “last resort” dan mekanisme persetujuan tingkat tinggi (mis. DPR/Ombudsman).
2. Atur SOP penggunaan kekuatan oleh Polri/TNI mengikuti standar internasional (proporsionalitas, necessity, accountability) dan publikasikan SOP itu.
3. Wajibkan Penerbitan Surat Perintah Publik untuk operasi yang berdampak sipil (ringkasan tujuan, hukum dasar, nama penanggung jawab).
4. Buat mekanisme audit independen pasca-operasi (tim independen, korban diberi akses pengaduan dan pemulihan).
5. Kriminalisasi penyalahgunaan perintah operasi — sanksi pidana bagi pejabat yang memerintahkan tindakan bertentangan hukum.
6. Perkuat perlindungan hukum & pemulihan untuk korban (kompensasi, rehabilitasi, jaminan non-penuntutan korban).
7. Rasionalisasi prioritas pembangunan: integrasikan analisis HAM wajib sebelum terbit izin proyek yang berpotensi konflik.
8. Pelatihan HAM & de-eskalasi untuk aparat — wajib, berkelanjutan, dan diakreditasi badan independen.
Mekanisme Akuntabilitas yang Harus Dikuatkan
- Pengawasan legislatif proaktif (anggota DPR wajib memanggil sebelum dan sesudah operasi besar).
- Peran Komnas HAM & Ombudsman sebagai pengawas cepat dengan kewenangan investigasi independent.
- Pelaporan real-time: operasi besar harus lapor ke publik (ringkasan, alasan, durasi).
- Perlindungan saksi & whistleblower yang melaporkan penyalahgunaan.
- Publikasi hasil investigasi dan sanksi nyata — bukan sekadar pelepasan administrasi.
Legalized violence bukan sekadar persoalan taktik penegakan — ia adalah soal nilai negara. Bila kebijakan memberi ruang bagi kekerasan yang tidak terkontrol, korban bukan hanya individu yang terkena, tetapi seluruh ide negara hukum dan demokrasi. Kita butuh kebijakan yang jelas, pengawasan yang kuat, sanksi yang nyata, dan prioritas pada keselamatan warga—bukan pada “kondusivitas” yang menguntungkan segelintir.
Sumber
UUD 1945 (Hak Asasi Manusia)
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
KUHAP & KUHP (ketentuan proses pidana)
Diskusi