Militerisasi Konflik Sipil

Ketika Penanganan Masalah Warga Diambil Alih oleh Aparat Bersenjata


Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai konflik sipil di Indonesia memperlihatkan pola baru: kehadiran aparat bersenjata dalam penanganan konflik yang seharusnya menjadi ranah sipil—perselisihan warga, sengketa agraria, demonstrasi, hingga konflik sosial. Fenomena ini dikenal sebagai militerisasi konflik sipil.

Secara hukum, Indonesia menganut prinsip bahwa urusan internal sipil ditangani oleh Polri (UU 2/2002). Namun di lapangan, batas itu sering kabur—mulai dari operasi gabungan, pengerahan pasukan dalam konflik lahan, hingga penggunaan intelijen bersenjata untuk “mengamankan situasi”.


Akar Masalah

1. Konflik Agraria yang Berakar pada Investasi Besar

Di banyak daerah—Kalbar, Kaltim, Sulsel, Sumut, Papua—ketika warga bentrok dengan perusahaan sawit, tambang, atau proyek negara, pihak yang hadir di lokasi sering bukan hanya polisi, tetapi juga aparat bersenjata tertentu.

2. Ketidakjelasan SOP Penanganan Konflik

UU TNI membatasi tugas TNI pada pertahanan negara. Namun celah muncul lewat istilah “Operasi Militer Selain Perang (OMSP)” yang definisinya luas, termasuk “mengatasi konflik sosial” — tanpa batasan ketat.

3. Kepentingan Ekonomi di Balik Konflik

Dalam konflik antara warga dan korporasi besar, sering muncul pernyataan “demi keamanan nasional” untuk membenarkan hadirnya pasukan bersenjata. Padahal yang dilindungi sering bukan warga, tetapi aset investasi.

4. Lemahnya Mekanisme Pengawasan Sipil

Komisi I DPR seharusnya mengawasi penggunaan kekuatan bersenjata, namun proses pengawasan jarang efektif dan publik tidak mendapat akses informasi yang transparan.


Dampak Militerisasi

  1. Eskalasi konflik : kehadiran aparat bersenjata sering membuat konflik makin panas, bukan mereda. 
  2. Intimidasi & pembungkaman suara kritis.
  3. Potensi pelanggaran HAM, terutama terkait penyiksaan, penangkapan tanpa dasar hukum, dan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional.
  4. Merosotnya kepercayaan warga kepada hukum karena mereka merasa berhadapan dengan institusi yang tidak bisa digugat.


Contoh Pola di Lapangan

Tanpa menyebut lokasi spesifik untuk menghindari bias, pola yang berulang biasanya seperti ini:

1. Warga protes atau menolak proyek 

2. Perusahaan/penyelenggara minta “pengamanan” 

3. Aparat bersenjata hadir untuk “menjaga kondusifitas” 

4. Warga ditangkap, dipukul mundur, atau dituduh makar, perusakan, atau memprovokasi.


Dalam banyak laporan organisasi masyarakat sipil (WALHI, KontraS, ELSAM), kehadiran aparat bersenjata sering tidak proporsional dengan ancaman di lapangan.


Reformasi yang Mendesak

  1. Membatasi OMSP hanya pada kondisi benar-benar darurat.
  2. Memperkuat kontrol sipil di DPR.
  3. Memastikan penyelesaian konflik sipil berbasis hukum & mediasi, bukan senjata.
  4. Menindak tegas aparat yang melakukan excessive use of force.



Rujukan 

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI & OMSP

Laporan WALHI – Konflik Agraria 2022–2023

Laporan KontraS – Tren Kekerasan Aparat pada Konflik Sipil

ELSAM – Analisis Praktik Militerisasi Konflik Sipil


ORDER VIA CHAT

Produk : Militerisasi Konflik Sipil

Harga :

https://www.indometro.org/2025/12/militerisasi-konflik-sipil.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi