Negara Absen Saat Rakyat Butuh Perlindungan
Negara Absen Saat Rakyat Butuh Perlindungan: Dari Bencana Alam hingga Bencana Kebijakan
Dalam teori negara hukum, negara hadir untuk melindungi warganya—terutama di saat paling genting. Namun dalam praktik, tidak jarang negara justru terlihat lamban, reaktif, atau bahkan absen ketika rakyat menghadapi krisis.
Bencana alam, konflik sosial, hingga kegagalan layanan dasar sering memperlihatkan pola yang sama, rakyat bertahan sendiri, sementara negara datang terlambat—atau hanya hadir dalam bentuk seremoni.
Apa yang Dimaksud “Negara Absen”?
Negara absen bukan berarti pemerintah tidak ada secara fisik, melainkan tidak hadir tepat waktu, tidak memberikan perlindungan efektif, tidak memastikan hak warga terpenuhi, dan gagal menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya.
Absen bisa terjadi karena kelambanan birokrasi, tumpang tindih kewenangan, minim mitigasi, atau karena kepentingan politik dan anggaran lebih diutamakan daripada keselamatan warga.
Bencana sebagai Cermin Ketidakhadiran Negara
Bencana alam seharusnya menjadi ujian utama kehadiran negara. Namun dalam banyak peristiwa, justru terlihat pola problematik bantuan terlambat, data korban tidak akurat, distribusi logistik tidak merata, dan korban dibiarkan bergantung pada solidaritas masyarakat sipil.
Contoh: Bencana di Sumatera
Dalam beberapa bencana di wilayah Sumatera—seperti banjir besar, longsor, dan bencana ekologis—publik sering menemukan fakta: permukiman terdampak berada di wilayah yang sebelumnya sudah diperingatkan rawan, kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan memperparah dampak bencana, dan penanganan pasca-bencana berjalan lambat, terutama bagi warga miskin dan daerah terpencil.
Negara hadir setelah viral, bukan sebelum bencana terjadi.
Negara Datang Saat Darurat, Pergi Saat Pemulihan
Masalah klasik pasca-bencana fase tanggap darurat disorot media, pejabat datang meninjau, dan bantuan simbolik disalurkan. Namun ketika masuk fase rehabilitasi, pemulihan ekonomi, pemulihan psikologis, dan relokasi yang layak, negara justru menghilang dari radar publik. Korban dipaksa beradaptasi sendiri dengan trauma dan kehilangan.
Perspektif Hukum: Kewajiban Negara yang Diabaikan
Secara hukum, negara wajib hadir.
Landasan hukumnya jelas:
- UUD 1945 Pasal 28A & 28G → hak atas hidup dan rasa aman
- UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana → negara bertanggung jawab atas mitigasi, penanganan, dan pemulihan
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM → kewajiban negara melindungi HAM
- Prinsip welfare state → negara aktif, bukan pasif
Ketika negara gagal mencegah, menanggulangi, dan memulihkan secara layak, kegagalan itu bukan sekadar teknis—melainkan pelanggaran kewajiban hukum.
Negara Lebih Cepat Hadir untuk Apa?
Ironinya, negara sering sangat cepat hadir untuk penertiban, penggusuran, pengamanan proyek, penegakan hukum represif. Namun untuk evakuasi cepat, jaminan tempat tinggal pasca-bencana, dan pemulihan ekonomi warga kehadiran negara justru tertunda.
Ini memunculkan pertanyaan serius siapa yang sebenarnya diprioritaskan oleh negara?
Dampak Sosial dari Negara yang Absen
Ketidakhadiran negara melahirkan ketidakpercayaan publik, kelelahan sosial, normalisasi penderitaan, dan ketimpangan struktural.
Masyarakat miskin dan daerah pinggiran menjadi korban berulang, sementara akar masalah—kerusakan lingkungan, tata ruang buruk, dan lemahnya mitigasi—tidak pernah dibenahi.
Apa yang Seharusnya Dilakukan Negara?
Beberapa langkah krusial:
- Mitigasi berbasis ilmu dan lingkungan, bukan kepentingan ekonomi
- Respons cepat dan terkoordinasi tanpa menunggu viral
- Pemulihan jangka panjang yang manusiawi, bukan sekadar bantuan sementara
- Akuntabilitas pejabat dan institusi atas kegagalan penanganan
- Libatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pemulihan
Negara tidak cukup hadir secara simbolik—harus hadir secara substansial.
Bencana alam memang tidak bisa dicegah sepenuhnya. Namun penderitaan berkepanjangan akibat negara yang absen adalah bencana buatan manusia.
Jika negara hanya datang saat kamera menyala, maka yang ditinggalkan rakyat adalah luka, trauma, dan ketidakadilan yang diwariskan dari satu bencana ke bencana berikutnya.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Laporan Tahunan BNPB
WALHI – Kajian bencana ekologis di Sumatera
Diskusi