Negara Prosedur dan HAM yang Tinggal di Buku
Ketika Hukum Sah Secara Formal, Tapi Gagal Melindungi Manusia
Indonesia sering menyebut dirinya negara hukum. Undang-undang ada, lembaga lengkap, prosedur panjang dan rapi. Namun di sisi lain, pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi—dari kriminalisasi warga, pembiaran kekerasan, hingga ketidakadilan yang dibiarkan berlarut-larut.
Pertanyaannya sederhana tapi mengganggu, apakah kita benar-benar hidup dalam negara hukum, atau sekadar negara prosedur?
Negara Prosedur: Hukum yang Sah Tapi Tidak Adil
Negara prosedur adalah kondisi ketika hukum berjalan sesuai aturan formal, patuh pada tahapan administratif, sah secara legal, namun kehilangan tujuan utamanya melindungi manusia. Dalam negara prosedur laporan diterima tapi tidak ditindaklanjuti, putusan ada tapi tidak dieksekusi, korban diminta sabar atas nama proses, dan aparat berlindung di balik “sesuai SOP”. Semua tampak legal, tapi keadilan tidak pernah benar-benar hadir.
HAM yang Hidup di Teks, Mati di Praktik
Hak asasi manusia di Indonesia diakui secara normatif dijamin dalam UUD 1945, diatur dalam undang-undang, bahkan diratifikasi melalui instrumen internasional. Namun dalam praktik, HAM sering berhenti sebagai teks hukum, bukan realitas. Korban kekerasan, warga miskin, buruh, aktivis, dan kelompok rentan kerap menghadapi: laporan yang diabaikan, proses yang diperlambat, tekanan untuk “damai”, dan kriminalisasi balik. HAM tetap disebut-sebut, tetapi jarang benar-benar ditegakkan.
Prosedur sebagai Tameng Kekuasaan
Masalahnya bukan ketiadaan hukum, melainkan penyalahgunaan prosedur. Prosedur hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi tameng aparat dari akuntabilitas, alat pembenaran pembiaran, dan mekanisme untuk melelahkan korban. Kalimat “biarkan proses hukum berjalan” sering kali bukan janji keadilan, melainkan cara halus untuk menunda tanggung jawab negara.
Perspektif Hukum & HAM
Dalam konsep rule of law, hukum tidak cukup hanya sah secara formal. Ia harus adil secara substantif melindungi hak asasi, dan memberikan pemulihan bagi korban. HAM juga tidak boleh dipahami sebagai slogan normatif. Negara memiliki kewajiban positif untuk mencegah pelanggaran, menyelidiki secara efektif, menghukum pelaku, dan memulihkan korban.
Ketika negara gagal melakukan ini, maka yang terjadi adalah denial of justice, meski prosedur tetap berjalan.
Opini Keras: Negara yang Aman bagi Sistem, Berbahaya bagi Warga
Negara prosedur adalah negara yang tampak tertib, tetapi sebenarnya lebih sibuk melindungi sistem daripada manusia. Hukum tetap dijalankan, tetapi hanya sejauh tidak mengganggu kekuasaan dan stabilitas. HAM tetap disebut, tetapi hanya aman di seminar, buku teks, dan pidato resmi. Dalam kondisi ini, warga tidak benar-benar dilindungi—mereka hanya diminta patuh.
Negara hukum sejati diukur bukan dari banyaknya aturan, melainkan dari siapa yang dilindungi ketika hukum diuji. Jika hukum sah tapi tidak adil, jika HAM diakui tapi tidak ditegakkan, maka yang berdiri bukan negara hukum—melainkan negara prosedur yang dingin terhadap penderitaan manusia.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Konsep Denial of Justice dalam hukum HAM internasional
Satjipto Rahardjo – Hukum Progresif
Diskusi