Penegakan Hukum Selektif & Keadilan yang Maha
Ketika Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Di atas kertas, hukum menjanjikan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Namun dalam praktik, realitasnya sering berbanding terbalik: hukum ditegakkan secara selektif dan keadilan menjadi mahal. Yang miskin mudah diproses, yang berkuasa sering lolos Yang tak punya akses hukum cepat dihukum, yang punya sumber daya justru bernegosiasi.
Apa Itu Penegakan Hukum Selektif?
Penegakan hukum selektif adalah praktik ketika hukum diterapkan keras kepada kelompok tertentu, namun lunak atau lambat terhadap pihak lain meskipun perbuatannya serupa atau bahkan lebih berat. Selektivitas ini bisa terlihat dari perbedaan perlakuan dalam penyelidikan, penentuan tersangka yang tidak konsisten, penghentian perkara tanpa alasan jelas, hingga pemilihan pasal yang menguntungkan pihak tertentu.
Keadilan yang Mahal: Akses Hukum Bukan untuk Semua
Di saat yang sama, sistem hukum menuntut biaya tinggi biaya pengacara, biaya perkara, biaya administrasi, dan biaya “tidak resmi” yang tak tertulis. Bagi warga miskin, biaya ini menjadi tembok besar yang menghalangi akses keadilan. Bagi kelompok berpunya, biaya justru menjadi alat tawar-menawar.
Ketika Selektivitas dan Biaya Bertemu
Kombinasi dua masalah ini menciptakan lingkaran setan, yakni yang miskin tidak mampu melawan proses hukum, sedangkan yang kaya mampu mengulur, menawar, atau menghindar, dan aparat juga memiliki ruang diskresi yang rawan disalahgunakan. Akibatnya, keadilan bukan lagi soal kebenaran, melainkan soal siapa yang mampu bertahan di dalam sistem.
Contoh Pola yang Terjadi
Beberapa pola yang sering berulang:
- Kasus kecil cepat disidangkan, kasus besar bertahun-tahun mandek
- Tersangka kelas bawah ditahan, tersangka berpengaruh “kooperatif”
- Pelanggaran administratif dipidanakan untuk rakyat kecil
- Perkara elite berakhir dengan restorative justice atau SP3
Pola ini menumbuhkan persepsi bahwa hukum bukan alat keadilan, melainkan alat kontrol sosial.
Perspektif Hukum: Di Mana Letak Masalahnya?
Secara normatif, hukum Indonesia menegaskan persamaan di hadapan hukum, hak atas bantuan hukum, dan proses hukum yang adil. Namun, masalah kemudian muncul pada lemahnya pengawasan aparat, diskresi tanpa akuntabilitas, ketimpangan akses bantuan hukum, dan budaya hukum yang permisif terhadap ketidakadilan.
Dampak Sosial yang Serius
Penegakan hukum selektif dan mahal berdampak langsung pada menurunnya kepercayaan publik, ketakutan masyarakat melapor, normalisasi ketidakadilan, dan lahirnya sinisme terhadap negara hukum. Jika dibiarkan, hukum justru memperlebar jurang sosial.
Apa yang Harus Dibenahi?
Beberapa langkah mendesak:
- Standarisasi penanganan perkara agar tidak tergantung siapa pelapornya
- Penguatan bantuan hukum gratis yang benar-benar mudah diakses
- Transparansi biaya dan proses hukum di semua tingkat
- Pengawasan ketat terhadap diskresi aparat
- Sanksi tegas terhadap praktik diskriminatif dan pungli
Keadilan tidak boleh menjadi barang mewah.
Hukum yang adil bukan hukum yang paling keras, melainkan hukum yang paling setara. Selama keadilan masih mahal dan penegakan hukum masih selektif, negara hukum akan terus menjadi janji, bukan kenyataan.
Sumber
UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) & Pasal 28D ayat (1)
UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
KUHAP
Ombudsman RI – Pengawasan Pelayanan Publik & Penegakan Hukum
Diskusi