Serikat Pekerja vs Kriminalisasi
Ketika Memperjuangkan Hak Dianggap Kejahatan
Serikat pekerja dibentuk untuk memperjuangkan hak, bukan untuk melawan hukum. Namun dalam praktiknya, aktivitas serikat—mogok kerja, demonstrasi, advokasi, hingga kritik kebijakan perusahaan—sering berujung pada kriminalisasi. Alih-alih dilindungi, pengurus dan anggota serikat justru dilaporkan ke polisi, dituduh mengganggu ketertiban, diproses pidana, bahkan kehilangan pekerjaan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah kebebasan berserikat masih benar-benar dijamin oleh hukum?
Kriminalisasi Serikat Pekerja: Apa Maksudnya?
Kriminalisasi serikat pekerja adalah praktik penggunaan hukum pidana untuk: membungkam aktivitas serikat, menekan perjuangan buruh, dan sekaligus melemahkan posisi tawar pekerja. Bentuknya pun beragam, seperti laporan pidana atas aksi mogok, tuduhan perusakan, penghasutan, atau pencemaran nama baik, penggunaan pasal ketertiban umum, dan pemidanaan berbasis UU ITE atas pernyataan serikat di media sosial.
Padahal, sebagian besar aktivitas tersebut adalah hak normatif buruh.
Mengapa Serikat Pekerja Rentan Dikriminasikan?
Ada beberapa faktor utama, yaitu :
A. Ketimpangan Kuasa
Perusahaan memiliki sumber daya, akses hukum, dan relasi kekuasaan, sementara buruh berada di posisi rentan secara ekonomi.
B. Stigma terhadap Gerakan Buruh
Serikat sering dilabeli mengganggu stabilitas, menghambat investasi, atau dianggap provokatif.
C. Aparat Lebih Responsif terhadap Laporan Korporasi
Dalam banyak kasus, laporan perusahaan diproses cepat, sementara laporan buruh justru lambat atau diabaikan.
Mogok Kerja: Hak yang Sering Dipidanakan
Secara hukum, mogok kerja adalah hak pekerja jika dilakukan sesuai prosedur. Namun di lapangan mogok dianggap mengganggu operasional, pekerja dilaporkan dengan tuduhan pidana, bahkan pengurus serikat dijadikan target utama. Akibatnya, buruh takut menggunakan haknya karena ancaman pidana dan PHK.
Perspektif Hukum: Apa Kata Undang-Undang?
Secara normatif, hukum Indonesia melindungi serikat pekerja dan tercantum sebagai berikut:
- UUD 1945 Pasal 28E ayat (3)→ Menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
- UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh→ Melarang penghalangan dan intimidasi terhadap aktivitas serikat.
- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan→ Mengatur hak mogok kerja dan perundingan.
- Konvensi ILO No. 87 & 98→ Menjamin kebebasan berserikat dan perundingan kolektif.
Dampak Kriminalisasi terhadap Dunia Kerja
Kriminalisasi serikat pekerja berdampak luas, seperti melemahkan perlindungan buruh, menurunkan kualitas hubungan industrial, menciptakan iklim kerja penuh ketakutan, hingga mematikan demokrasi di tempat kerja. Buruh akhirnya memilih diam, meski haknya dilanggar.
Negara di Mana?
Negara seharusnya menjadi penengah yang adil. Namun dalam praktik pengawasan ketenagakerjaan lemah, perlindungan serikat tidak optimal, bahkan aparat penegak hukum kurang sensitif terhadap isu perburuhan.
Negara sering hadir sebagai penindak, bukan pelindung.
Apa yang Harus Dibenahi?
Beberapa langkah mendesak:
- Hentikan penggunaan hukum pidana untuk konflik industrial
- Perkuat sanksi terhadap pengusaha yang mengkriminalisasi serikat
- Tingkatkan literasi aparat soal hukum ketenagakerjaan
- Perluas akses bantuan hukum bagi pengurus serikat
- Perlindungan khusus bagi aktivis buruh dari PHK dan intimidasi
Tanpa ini, kebebasan berserikat hanya akan menjadi slogan.
Serikat pekerja bukan musuh negara dan bukan penjahat. Mereka adalah bagian dari demokrasi di tempat kerja.
Jika memperjuangkan hak dianggap kejahatan, maka yang bermasalah bukan serikat pekerja—melainkan sistem hukum yang gagal melindungi warganya.
Sumber
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Diskusi