Upah Murah dan Hukum Ketenagakerjaan yang Lemah

Negara Hadir untuk Investasi, Absen untuk Buruh?


Upah murah kerap dibungkus dengan istilah “daya saing” dan “iklim investasi”. Namun di balik narasi itu, jutaan buruh justru berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Ironisnya, ketika buruh menuntut hak, hukum ketenagakerjaan sering kali tidak cukup kuat melindungi, atau diterapkan secara setengah hati.

Pertanyaannya sederhana apakah hukum ketenagakerjaan benar-benar berpihak pada pekerja, atau justru melanggengkan upah murah?


Upah Murah sebagai Kebijakan Struktural

Upah murah bukan semata akibat pasar, melainkan hasil dari penetapan upah minimum yang tidak realistis, formulasi pengupahan yang mengabaikan kebutuhan hidup layak, fleksibilitas tenaga kerja yang berlebihan, dan lemahnya posisi tawar buruh.

Dalam praktiknya, upah minimum sering menjadi upah maksimum, bukan jaring pengaman.


Hukum Ketenagakerjaan: Kuat di Teks, Lemah di Praktik

Indonesia memiliki perangkat hukum ketenagakerjaan yang cukup lengkap. Namun masalah muncul pada pengawasan yang minim, sanksi yang tidak tegas, dan penegakan hukum yang cenderung kompromistis terhadap pelanggaran.

Banyak pelanggaran seperti upah di bawah minimum, jam kerja berlebih tanpa lembur, kontrak berkepanjangan, bahkan PHK sepihak yang dibiarkan tanpa konsekuensi berarti bagi pengusaha.


Negara dan Logika Investasi

Dalam banyak kebijakan, negara terlihat lebih cepat merespons kepentingan investasi dibanding perlindungan buruh. Regulasi dibuat “ramah usaha”, namun berdampak seperti menekan standar perlindungan tenaga kerja, melemahkan posisi serikat, dan mempermudah praktik kerja fleksibel tanpa jaminan. Buruh ditempatkan sebagai variabel biaya, bukan sebagai manusia dengan hak.


Dampak Nyata bagi Buruh

Hukum yang lemah dan upah murah berdampak langsung pada meningkatnya kemiskinan pekerja (working poor), kerentanan kesehatan dan pendidikan keluarga buruh, ketergantungan pada utang, serta ketakutan bersuara karena ancaman PHK.

Bekerja penuh waktu tidak lagi menjamin hidup layak.


Perspektif Hukum dan Konstitusi

Secara konstitusional:

  1. UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
  2. UUD 1945 Pasal 28D ayat (2) menjamin imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Artinya, upah murah yang sistemik dan hukum yang tidak melindungi buruh dapat dipandang sebagai kegagalan negara menjalankan mandat konstitusi.


Mengapa Buruh Sulit Mencari Keadilan?

Beberapa hambatan utama, yaitu proses penyelesaian perselisihan yang panjang dan mahal, ketimpangan posisi antara buruh dan pengusaha, intimidasi terhadap serikat pekerja, dan minimnya bantuan hukum ketenagakerjaan yang efektif.

Akibatnya, banyak buruh memilih bertahan dalam ketidakadilan daripada kehilangan pekerjaan.


Apa yang Harus Dibenahi?

Beberapa langkah penting yang perlu didorong:

  1. Penetapan upah berbasis kebutuhan hidup layak, bukan semata pertumbuhan ekonomi
  2. Pengawasan ketenagakerjaan yang aktif dan independen
  3. Sanksi tegas bagi pelanggaran upah dan jam kerja
  4. Perlindungan nyata bagi serikat pekerja
  5. Akses bantuan hukum gratis dan cepat untuk buruh

Tanpa itu, hukum ketenagakerjaan hanya akan menjadi simbol, bukan pelindung.


Upah murah bukan takdir, dan hukum lemah bukan keniscayaan. Keduanya adalah hasil pilihan kebijakan. Jika negara serius membangun kesejahteraan, maka buruh tidak boleh terus-menerus diminta berkorban atas nama investasi. Karena negara hukum yang adil dimulai dari pekerja yang hidup layak.




Sumber

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan

ORDER VIA CHAT

Produk : Upah Murah dan Hukum Ketenagakerjaan yang Lemah

Harga :

https://www.indometro.org/2025/12/upah-murah-dan-hukum-ketenagakerjaan.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi