Warga Miskin Dipidana, Elite Diatur: Potret Ketidakadilan dalam Sistem Hukum Indonesia

Investigasi Sosial-Hukum atas Ketimpangan Penegakan Hukum


Hukum itu Buta… Tapi Kok Bisa Milih Korban?

Secara teori, hukum itu netral. Secara praktik, banyak kasus menunjukkan: warga miskin mudah ditangkap, elite mudah diloloskan. Kita melihat pola berulang seperti :

  1. Pelanggaran kecil oleh warga miskin → ditindak cepat.
  2. Kejahatan besar oleh orang berkekuatan ekonomi & politik → negosiasi, mediasi, atau ditunda-tunda.

Fenomena ini bukan opini — data, kasus nyata, hingga laporan resmi lembaga internasional menunjukkan hal yang sama.


Pola Berulang: “Kecil Ditangkap, Besar Dimaafkan”

1. Kasus-kasus kecil yang cepat dipidana. Beberapa contoh nyata:

  • Nenek Minah (3 buah kakao).
    Dituntut 1,5 bulan penjara karena mengambil tiga buah kakao dari perkebunan. (Sumber: Putusan MA No. 1555 K/Pid/2010)
  • Seorang pemuda mencuri sandal jepit.
    Dilaporkan oleh oknum aparat → diproses hukum. (Sumber: Komnas HAM & berbagai pemberitaan nasional)
  • Ibu rumah tangga mengambil kayu bakar di lahan konses.
    Dipenjara karena dianggap “pencurian hasil hutan”.

Ini bukan hanya kasus individual — ini fenomena struktural.


Kejahatan Elite: Dari Korupsi Raksasa hingga Kejahatan Lingkungan

Bandingkan dengan kasus kelas atas:

1. Korupsi miliaran → potongan hukuman, remisi, fasilitas mewah

Banyak terpidana korupsi mendapatkan:

  • remisi berlapis
  • fasilitas lapas “kelas VIP”
  • hukuman dikurangi di tingkat banding atau kasasi

2. Kejahatan lingkungan oleh korporasi → kasus berhenti di meja perizinan

Dari kebakaran hutan hingga pencemaran sungai — banyak yang berakhir dengan mediasi administratif, denda administratif ringan atau tidak diproses pidana

3. Mafia pajak, mafia tambang, mafia pengadaan → “tak cukup bukti”

Meski kerugian negara jelas, proses hukumnya sering ditunda, diperlambat atau tidak dinaikkan ke penyidikan. 


Mengapa Bisa Begitu? Struktur Ketidakadilan

1. Criminalization of Poverty (Kriminalisasi Kemiskinan)

Konsep yang dipakai oleh:

  • UN Rapporteur on Extreme Poverty
  • Amnesty International
  • Komnas HAM

Orang miskin lebih rentan tidak punya pengacara, tidak bisa negosiasi, tidak punya akses pejabat dan tinggal di area padat yang lebih sering dirazia

2. Law of the Ruler vs Rule of Law

Di Indonesia, sering terlihat hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas dan penegakan tergantung relasi, bukan regulasi

3. Diskresi aparat yang tidak transparan

Diskresi sebenarnya sah dan perlu. Masalahnya: diskresi sering dipakai untuk melindungi elite, bukan rakyat kecil.


Dampak Sosial: Kemiskinan yang Dipidana, Bukan Diatasi

Ketidakadilan semacam ini menghasilkan:

  1. Ketidakpercayaan pada hukum.
    Warga merasa hukum bukan tempat mencari keadilan.
  2. Siklus kemiskinan semakin dalam.
    Ditangkap → kehilangan pekerjaan → stigma → makin miskin.
  3. Munculnya “hukum balas dendam sosial”.
    Warga main hakim sendiri karena tidak percaya pada sistem.


Solusi Berbasis Sistem, Bukan Sekadar Kasus

  1. Decriminalisasi pelanggaran kecil (petty crime). Seperti di banyak negara maju, pelanggaran kecil tidak harus dipenjara.
  2. Keadilan restoratif yang benar-benar berkeadilan. Diprioritaskan untuk warga kecil, bukan untuk koruptor.
  3. Transparansi diskresi aparat. Setiap keputusan tidak menahan atau tidak memproses harus bisa diaudit.
  4. Bantuan hukum gratis & wajib bagi warga miskin. UU Bantuan Hukum sudah ada, tapi implementasi masih lemah.
  5. Reformasi peradilan yang memotong jalur mafia perkara. Termasuk sistem pelaporan transparan dan digital yang tidak bisa diintervensi.





Sumber 

Komnas HAM – Laporan Tahunan 2021–2024

Putusan MA No. 1555 K/Pid/2010 (Kasus Nenek Minah)


ORDER VIA CHAT

Produk : Warga Miskin Dipidana, Elite Diatur: Potret Ketidakadilan dalam Sistem Hukum Indonesia

Harga :

https://www.indometro.org/2025/12/warga-miskin-dipidana-elite-diatur.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi