Tinjauan Yuridis terhadap Penganiayaan Pekerja Rumah Tangga Anak
Penyertaan dalam Tindak Pidana
Untuk menjawabnya, kami akan menggunakan pendekatan teori penyertaan dalam tindak pidana sebagaimana termuat pada Pasal 55 KUHP lama maupun Pasal 20 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026.
Pasal 55 KUHP | Pasal 20 UU 1/2023 |
| Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika:
|
Adapun berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat empat golongan orang yang dapat dipidanakan, yakni:
- Pelaku (pleger);
- Menyuruh melakukan (doenpleger);
- Turut serta (medepleger);
- Penganjur (uitlokker).
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP (hal. 73). Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu.
Oleh karena itu, tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana.
Kemudian apabila mengacu pada penggolongan pelaku pidana di atas, menurut hemat kami A tidak dapat disebut sebagai “pelaku” (pleger) karena pelaku kekerasan sesungguhnya adalah B. Adapun A juga bukan termasuk orang yang “menyuruh melakukan” (doenpleger) karena A tidak menyuruh B untuk melakukan kekerasan pada si pekerja anak tersebut. Selanjutnya A juga tidak bisa dikategorikan “turut serta” (medepleger) karena A tidak melakukan perbuatan pelaksanaan dari tindak kekerasan tersebut. Selain itu, A juga tidak memenuhi unsur sebagai “penganjur” (uitlokker) karena B melakukan kekerasan kepada anak tersebut bukan anjuran/saran dari A.
Sehingga berdasarkan keterangan di atas, A tidak dapat dipidana karena A tidak dapat dikategorikan ke dalam empat golongan yang dapat dipidanakan menurut KUHP atau UU 1/2023.
Pasal Penganiayaan Anak dalam UU Perlindungan Anak
Perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Adapun selanjutnya sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
- Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
- Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
- Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
- Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Penjelasan lebih lanjut tentang tindak pidana penganiayaan anak dapat Anda simak artikel Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma.
Perspektif UU Penghapusan KDRT
Dalam hal si anak bekerja sebagai pembantu untuk B, maka perbuatan B juga dapat dijerat dengan ketentuan UU PKDRT dikarenakan karena perbuatannya itu termasuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”).
Adapun lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT dapat meliputi juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa anak yang dipekerjakan oleh B masuk ke dalam orang dalam lingkup rumah tangga.
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, termasuk salah satunya kekerasan fisik.Perlu diperhatikan bahwa bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Sumber : Hukum Online
Diskusi